BRF menyajikan 22 mata acara berupa diskusi dan lokakarya dalam festival literasi skala besar pertama di kota tersebut. Koordinator BRF Galuh Pangestri mengatakan semangat literasi di kota Bandung harus ditangkap dan dikembangkan.
“Di Bandung banyak sekali kantong-kantong baca, tapi dengan ciri khas dan karakter masing-masing. Dan Bandung Reader Festival ini sebetulnya bukan ide baru. Saat saya audiensi dengan beberapa pihak, festival literasi sudah ada di kepala beberapa orang. Tinggal mengerjakan aja, ujarnya kepada wartawan usai konferensi pers di Bandung, Selasa (27/8).
BRF menghadirkan 30-an narasumber dari penulis, aktivis, peneliti, dan penerbit, baik dari kota Bandung maupun kota lain. Mereka antara lain dosen filsafat, Bambang Sugiharto, jurnalis Zen RS, peneliti Aquarini Priyatna, juga ilustrator Lala Bohang. Pengunjung akan diajak membahas kebudayaan, isu perempuan, masalah disabilitas, dan lain-lain.
Namun yang jadi fokus festival ini adalah kehadiran era digital. Menurut Galuh,
Era digital telah mengubah cara orang membaca. “Membaca secara instan tapi tanpa kedalaman, itu lho concern kita di awal,” ujarnya lagi.
Hal serupa dinyatakan oleh Theoresia Rumthe, penulis yang mengembangkan karirnya di Bandung. Menurutnya, tantangan di era digital adalah daya tahan pembaca.
“Pertama, kita perlu belajar caranya membaca; kedua kita perlu meluangkan waktu; ketiga kita perlu bersabar untuk menyelesaikan satu buku,” ujar Theoresia.
“Dengan beribu-ribu informasi dan ratusan buku yang bisa kita akses setiap hari. Saya merasa saya mesti punya daya tahan yang baik untuk menghadapi percepatan dan era digital yang sangat cepat berganti,” ujar penulis yang telah menelurkan delapan buku ini, baik sendiri maupun bersama penulis lain.
Berbagai Festival Literasi Berupaya Perbaiki Situasi Indonesia
Bandung Readers Festival hadir melengkapi festival literasi di berbagai kota yang sudah lebih dulu diadakan. Seperti Jakarta International Literary Festival, Mocosik Festival di Yogyakarta, Ubud Writers and Readers Festival, sampai Makassar International Writers Festival.
Festival-festival ini hadir seiring dengan tingkat literasi Indonesia yang dilaporkan rendah dari tahun ke tahun. Tes PISA (The Programme for International Student Assessment) menempatkan Indonesia di sepuluh terburuk sejak tahun 2000 sampai 2015. Tes PISA dilakukan tiga tahun sekali.
Pada 2016, Central Connecticut State University merilis studi yang menempatkan Indonesia di posisi 60 untuk literasi. Indonesia hanya lebih baik dari Botswana.
Sementara itu, Indonesia juga mengikuti tes Programme for the International Assessment of Adult Competencies (PIAAC) pada 2014-2015. Studi ini mengukur kemahiran literasi, angka, dan memecahkan masalah. Hasilnya, hanya satu persen orang dewasa di Jakarta yang punya tingkat literasi memadai di level 4 dan 5. Hanya ada 5,4 persen orang dewasa di Jakarta yang memiliki level 3, yakni menemukan informasi dari teks panjang.
Presiden Joko Widodo awal tahun ini menekankan pentingnya literasi pada era digital.
Di tengah situasi itu, Bandung Readers Festival berharap meningkatkan literasi masyarakat. Galuh berharap festival ini bisa jadi gerakan berkelanjutan.
“Kalau untuk membangun masyarakat yang kritis itu kan panjang sekali, dan kita tidak bisa selesai dengan satu kali pelaksanaan,” ujarnya.
Sementara Theoresia mendorong anak muda lebih gemar membaca buku, bukan cuma ikut tren media sosial.
“Dan juga sesuatu yang bukan sekedar tren, keren-kerenan beli buku cuma difoto dan diposting di Instagram. Tapi betul-betul buku, kalimat, dan kata-kata itu jadi sesuatu yang digemari dari hati,” harapnya. [rt/lt]