Reporter: Sardin.D
KENDARI- Puncak Hari Aksara Internasional atau International Literacy Day akhirnya dilaksanakan 8 September 2020. Meski pandemi covid-19, namun tidak menyurutkan semarak peringatan ini yang dilaksanakan secara virtual.
Kesemarakan peringatan tersebut, sebagaimana diceritakan Pegiat Literasi asal Sultra, Wa Ode Nur Iman. Menurutnya, meski digelar di masa pandemi covid-19, namun peringatan ini tetap bisa terlaksanan sesuai tujuannya, yaitu mengingatkan publik akan pentingnya literasi sebagai martabat dan hak asasi setiap manusia.
“Kita sedang dimasa pandemi covid-19 dan masyarakat dihimbau di rumah saja, ditengah keadaan demikian setidaknya ada keinginan masyarakat untuk mencoba melihat kembali apa yang ada pada masa lampau untuk kehidupan di masa yang akan datang,” kata Wa Ode Nur Iman, Selasa 8 september 2020.
Menurutnya, Hari Aksara Internasional harus terus diperingati untuk menjaga kesadaran pentingnya melek huruf bagi manusia sehingga dapat terus memajukan agenda literasi menuju masyarakat yang lebih melek huruf dan melek aksara Nusantara.
Wa Ode Nur Iman yang juga menjabat Komisioner KPID Sultra menjelaskan, masyarakat Indonesia telah mengenal tradisi tulis atau aksara tulis sejak abad keempat. Hal ini ditandai dengan yupa yaitu tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan Raja Kutai di Kalimantan Timur, Mulawarman, dengan menggunakan Aksara Pallawa dalam Bahasa Sansekerta.
Seiring perkembangan waktu, muncul beberapa aksara di Nusantara seperti Aksra Nagari, Aksara Lontara, Aksara Sunda, Aksara Jawa yang biasa disebut Hanacaraka, Aksara Rejang, Aksara Lampung, Aksara Bali, Aksara Kawi atau Aksara Jawa Kuno, Aksara Sasak, dan lain-lain.
Aksara-aksara tersebut terus berkembang sampai Abad XV, yang kemudian keberadaannya mulai tergeser oleh hadirnya Aksara Arab dan Abjad Latin yang juga terus digunakan hingga saat ini.
“Namun sayangnya ada beberapa jenis aksara di Indonesia yang keberadaannya saat ini terancam punah, yakni aksara pallawa, aksara sasak, aksara lontara, aksara bali, aksara kawi, aksara jawa,” ungkap Wa Ode Nur Iman.
Untuk itu lanjutnya, Hari Aksara Internasional ke-55, tahun 2020 diharapkan jadi momentum untuk bersama menjaga keberadaan aksara tersebut, karena ini merupakan warisan budaya nusantara yang tetap harus dijaga kelestarianya.
Dosen Sastra Indonesia FIB UHO ini juga menuturkan, masyarakat Indonesia adalah jenis masyarakat yang juga hidup dengan tradisi lisan. Tradisi ini berbentuk segala tindak-tanduk dan kelakuan sejak masa lampau yang diturunkan secara turun temurun dengan cara lisan.
“Meski pada akhirnya tradisi lisan juga berkembang menjadi tiga bagian yakni lisan murni, sebagian lisan, dan lisan bukan lisan. Lebih jauh, bahwa tradisi lisan dapat berupa sastra (terdiri dari puisi [dengan berbagai jenisnya pula] dan cerita rakyat), nyanyian rakyat, bahasa rakyat, dan ungkapan-ungkapan tradisional,” terangnya.
Sebagian tradisi lisan, kata Iman, berupa terater rakyat, permainan rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, kepercayaan tradisional, dan tari rakyat. Dan ada juga tradisi lisan yang tidak berbentuk lisan atau yang disebut tradisi lisan material.
“Tradisi ini berupa hasil kerajinan tangan, aksitertur tradisional, makanan dan minuman, gerak isyarat, serta bunyi-bunyian,” jelasnya.
Iman juga menjelaskan, Hari Aksara Internasional diperingati setiap 8 September sejak tahun 1966 setelah diadakannya konferensi internasional tentang pemberantasan buta huruf, di Teheran, Iran pada 8 – 19 September 1965 silam.
Pada momen Hari Aksara Internasional tahun 2020, kata Iman, dirinya ingin mengucapkan selamat kepada Bapak Nuhung dari Kabupaten Konawe Utara sebagai Penerima Penghargaan Tokoh Adat Pendukung Pendidikan Keaksaraan Pada Komunitas Adat Terpencil/Khusus (KAT).
“Juga kepada Nayla Lutfia Syach dari Kabupaten Kolaka sebagai Penerima Apresiasi Menulis Praktik Baik Literasi Masyarakat dari Kemendikbud serta seluruh masyarakat Indonesia dan semua pegiat literasi di seluruh Indonesia,” pungkasnya.