Penulis : Rusli
Tulisan – Ungkapan sederhana “Rusli” 21/01/2019 Berbicara politik di era sekarang seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan karena manusia hidup merupakan proses atau pola seperti politik yang berjalan secara terus menerus, artinya ada sisi positif ada juga sisi negative yang saling berkaitan karena adanya tarik menarik kepentingan yang ada di birokrasi pemerintahan. Perkembangan masyarakat kontemporer yang semakin jauh dengan di ditandai dengan kemajuan yang serba dinamis, penuh dengan dinamika sosial, tentu politik menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan, mengingat politik adalah proses, yang artinya politik sangat dekat dalam kehidupan ataupun aktivitas manusia. Berbicara politik tentu berbicara masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Juga politik identik dengan history atau sejarah, tentunya politik lebih dekat atau dominan berbicara hal-hal yang telah terjadi agar melihat kondisi masa yang akan datang dapat melihat dengan jelas.
Politik merupakan suatu aspek dari semua perbuatan yang berkenaan dengan usaha kolektif bagi tujuan-tujuan kolektif. Politik juga bisa di artikan sebagai tindakan yang dijalankan menurut suatu rencana tertentu, terorganisasi dan terarah, yang secra tekun berusaha mnghasilkan, mempertahankan atau merubah susunan kemasyarakatan. Belasan tahun pasca tumbangnya orde baru, kita dihadapkan pada dominasi politik identitas. Isu sara digadang untuk golkan kepentingan politik. Coen H. Pontoh memandang, jika ini dibiarkan, bisa berujung pada fasisme. Setelah lebih dari 15 tahun pasca tumbangnya pemerintahan Soeharto, hari-hari ini kita dihadapkan pada dominasi politik identitas (identity politics). Berbagai kekuatan politik dan kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat berlomba-lomba memainkan sentimen agama, ras, etnis, dan jender untuk menggolkan agenda-agenda politiknya. Perkembangan kebijakan politik tentang agama sejak pemerintahan orde lama sampai pemerintahan pasca reformasi memiliki perubahan yang signifikan. Bahkan agama sudah melebarkan sayapnya ke organisasi yang lebih besar pada perusahaan, lembaga pendidikan, hanya saja agama belum begitu menguasai dunia organisasi yang bersifat komersial. Tapi menurut beberapa ahli untuk kesuksesan sebuah organisasi tidak hanya mengandalkan skema kompensasi moneter, tetapi kemampuan organisasi itu ada harus diidentifikasi kemampuan masing-masing organisasi bekerja.(Guzzini 2016). Menurut Karl Deutsch, politik adalah koordinasi yang dapat dipercaya dari suatu usaha dan pengharapan manusiawi untuk memperoleh tujuan-tujuan masayarakat.
Di era orde Lama, Soekarno mencoba untuk memisahkan negara dengan agama melalui pemikiran sekulernya walaupun ketika itu banyak pihak yang kontradiktif terhadap pemikirannya. Dilanjut dengan Soeharto yang pada masa itu melarang keras agama untuk berkecimpung dalam dunia politik, karena kekhawatirannya bahwa agama dapat mengambil masa yang dapat menjatuhkan pemerintahannya. Akhirnya para pemeluk agama menghirup udara segar, pada saat pasca Reformasi, agama telah diberi kebebasannya untuk ikut serta dalam perpolitikan negara selama tidak melanggar hukum. Akan tetapi pemerintah saat ini cenderung tidak memperhatikan atau mengabaikan agama-agama lokal yang terlebih dahulu ada di Indonesia, bahkan mendiskriminasi hal tersebut. Mendominasinya politik identitas dalam ruang publik kita sehari-hari (everyday politics), menurut saya bukan hal yang patut dirayakan. Sebaliknya, kita perlu mengkritisinya secara serius: Pertama, politik identitas karena mudah diserap oleh panca indera, cenderung menyebabkan terjadinya segregasi sosial secara horisontal. Aku dan dia, kita dan mereka. Segregasi ini terjadi karena masing-masing identitas berusaha mengokohkan dan meneguhkan otentisitasnya. Hal ini kemudian bisa berujung pada hal kedua, yakni politik isolasi sekaligus eksklusi. Mengisolasi diri agar tidak tercemar pengaruh dari luar, sekaligus mengeksklusi karena yang lain itu dianggap tidak murni.
Perkembangan mutakhir politik Indonesia menunjukan bahwa agama merupakan satu institusi politik yang paling penting dalam system pancasila sebab, dari agamalah para politisi coba memusatkan atau mencari legitimasi mereka, baik secara langsung ataupun tidak. Agama dipergunakan sebagai sumber bagi ketajaman-ketajaman moral dan keputusan-keputusan terhadap rakyat yang merupakan basis dari masyarakat Indonesia, Soekarno sendiri selalu bersikeras berpendapat bahwa agama adalah elemen absolut bagi pembangnan bangsa. karena sumber konflik antara agama dan kekuasaan, selalu berinduk dari kelompok dengan kejernihan beragama yang cerdas (termasuk dalam memahami hakikat agama dan politik), melawan kebodohan beragama yang diseret oleh imajinasi politik atas nama agama. (Fathoni)
Politik tidak diselenggarakan di ruang publik, tetapi ditransaksikan secara personal. Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme individual. Tidak ada sedikitpun upaya sofistikasi untuk sekedar memperlihatkan sifat elitis dari percaloan politik itu. Dengan wajah standar, para koruptor menatap kamera, karena yakin bahwa putusan hakim dapat dibatalkan oleh kekuasaan, bila menolak ditukar saham dan memang mengkondisikan sebuah keputusan yang transaksional. Kepentingan bertemu kepentingan, keinginan bersua kebutuhan.
Agama kalau di gambarkan dengan konteks sekarang, seperti ungkapan dalam the art of war, terlalu imajinatif dan tidak praktis, maksudnya kelompok radikalisme atau konservatisme memandang agama dengan sisi yang sangat kaku tidak realistis, ia selalu berpikir ingin mendominasi tetapi dengan cara yang keliru, sehingga membawa agama ketempat yang bukan tempatnya. Perkembangan agama secara radikal sudah menjurus kepada agama islam secara khusus, karena krisis identitas lalu reaksi, resistensi kapada Barat.(Mulyoto and Mulyono 2017) Contohnya, di Indonesia atau timur tengah sekarang yang keberadaan agama cukup bergejolak, entah itu agama digunakan sebagai instrument untuk kepentingan individu atau kelompok. Idealnya barangkali agama dibawa ke sisi praktis, maksudnya agama harus dipahami sesimpel mungkin atau mudah, dalam ini berkompetisi untuk berbuat lebih baik, jangan lagi agama di bawa keranah kekerasan, seperti di bawa keranah politik.
Ketergantungan politik pada uang-lah yang menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini tidak ada hubungannya dengan politik ideologi, karena relasi personal telah menyelesaikan persaingan ideology dan bukan pada persaingan realisasi pola pikir dan akal sehat yang cemerlan untuk kemajuan bangsa yang besar ini . Relasi itu tumbuh karena pelembagaan politik tidak berlangsung. Artinya, sistem kepartaian modern dan sistem parlemen kita tidak tumbuh di dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena kepentingan elitis individual. Pemahaman tentang dalil-dalil bernegara tidak diajarkan di dalam partai politik. Etika publik bukan merupakan prinsip politik parlemen. Bahwa seolah-olah ada kesibukan mengurus rakyat itu hanya tampil dalam upaya mempertahankan kursi politik individual, dan bukan karena kesadaran untuk memberi pendidikan politik pada rakyat. Parlemen adalah kebun bunga rakyat, tetapi rakyat lebih melihatnya sebagai sarang ular.
Tanpa gagasan, minim pengetahuan, parlemen terus menjadi sasaran olok-olok publik. Tetapi tanpa peduli, minim etika, parlemen terus menjalankan dua pekerjaan utamanya: korupsi dan arogansi. penyebab kemandekan diskursus tentang politik itu ialah kemerosotan dunia akademik di kampus atau perguruan tinggi. Menurutnya, kampus sudah dipangkas oleh birokrasi sehingga akal pun mengalami birokratisasi. Padahal kampus disebut kampus kalau dia mengaktifkan argumentasi. Kampus tanpa argumentasi sama dengan supermarket atau mal. Jadi, kampus berhenti berpikir, kebijakan publik juga akhirnya kehilangan kemampuan untuk minta dievaluasi, karena kampus tidak mungkin mengevaluasi kebijakan publik. Jadi kalau kampus tidak melahirkan argumen maka tidak mungkin mengevaluasi koorporasi kalah tanding dengan koorporasi, Politik tidak diselenggarakan di ruang publik, tetapi ditransaksikan secara personal.
Siapapun mereka, apapun profesinya, yang jelas intinya adalah mereka menjadikan atau memanfaatkan agama sebagai atau layaknya barang dagangan untuk meraup keuntungan ekonomi-politik dan material-duniawi. Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme individual karena manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Di layar nasional, politik elit tampil dalam bentuknya yang paling dangkal jual-beli di tempat. Tidak ada sedikitpun upaya sofistikasi untuk sekedar memperlihatkan sifat elitis dari percaloan politik itu. Dengan proses institusionalisasi dalam bentuk sebuah organisasi maka memberikan kondisi yang stabil bagi praktik-praktik perpolitikan yang lebih luas di Indonesia, dan memberikan harapan-harapan yang lebih baik untuk masa depan para pemuda bangsa untuk melanjutkan tongkat estafet yang lebih baik, agar menjadi bangsa yang besar, bangsa yang di segani, dan bangsa yang di hormati oleh bangsa-bangsa lain. karena memiliki pemikir-pemikir yang cemerlan dalam mengambil sebuah keputusan untuk kepentingan kemajuan negara.