Reporter: Febi Purnamasari
KENDARI – Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April merupakan refleksi perjuangan kaum perempuan di Indonesia, atas pengabdian membawa penerangan bagi kehidupan.
Meski telah 116 tahun berlalu sejak mangkatnya pada 17 September 1904, namun semangat pengabdian ‘habis gelap terbitlah terang’ ala Raden Ajeng (RA) Kartini tetap lestari.
Pada era kini, semangat pengabdian itu salah satunya bisa dilihat dalam diri Ismayanti Wahid, seorang perawat non ASN yang mengabdi 10 tahun tanpa gaji di salah satu Puskesmas di Kota Kendari.
Kisah pengabdian ini viral setelah diunggah sang suami di laman media sosial. Unggahan suaminya, yakni Arham Rasyid yang adalah penulis kondang di Kendari disambut riuh pengguna jagad maya.
Hingga kini tidak kurang dari 3217 orang menyatakan simpatiknya dengan memberikan tanda ‘like’ atau suka. Dan 226 orang lainnya memberikan dukungan dengan komentar langsung.
Sepenggal kisah di media sosial itulah yang mendorong Saya untuk melakukan interview secara daring dengan Ismayanti Wahid. Bersyukur, karena keinginan Saya itu bersambut persetujuan.
Senin 21 April 2020 sore yang cukup dingin karena baru saja hujan, Ismayanti Wahid memulai kisahnya dari ujung ponsel, dengan telatennya ia menjawab serangkaian pertanyaan yang Saya ajukan.
Mengabdi 10 Tahun Tanpa Gaji
Diceritakannya, pengabdian di Puskesmas dimulai sejak tahun 2011, usai lulus kuliah D3 perawat dari salah satu kampus di Kota Makassar. Ini terus berlanjut saat dirinya kuliah S1 perawat di salah satu kampus di Kendari di tahun 2016.
Dengan status mengabdi, Ismayanti Wahid membenarkan jika dirinya menjalani keseluruhan waktu pengabdiannya itu tanpa menerima gaji, melainkan hanya honor yang diterima setiap tiga bulan sekali.
Kepada Saya, Ismayanti Wahid yang akrab disapa Isma ini mengaku tidak pernah merasa rugi dengan pengabdiannya walau tanpa gaji, dia juga mengaku tidak pernah merasa mengorbankan waktu.
“Alhamdulillah, ini sudah jadi passion atau panggilan jiwa, jadi kita jalani saja walau tidak digaji,” tulis siangkat kepada Saya, itu membuat saya haru dan merasa kagum padanya.
Isma mengaku, peningkatan status jadi tenaga kontrak resmi atau jadi ASN Pemkot Kendari agar bisa mendapatkan gaji bukan satu-satunya tujuan pengabdiannya, meski harapan itu ada.
“Kalau soal suka duka, itu sebenarnya lebih banyak sukanya karena sudah turut membantu masyarakat,” terang Isma lagi.
Diceritakannya, di Puskesmas itu selain dirinya ada beberapa orang petugas medis berstatus sukarelawan (baca: tanpa gaji). Untuk perawat berjumlah tiga orang dan beberapa bidan.
Difasilitas kesehatan milik Pemkot Kendari itu dirinya diamanahkan sebagai Juru Imunisasi atau Jurim. Menurutnya, tanggung jawab itu susah-susah gambang karena berkaitan dengan kesehatan bayi.
Pengabdian Terhenti, Karena Sukarelawan Tidak Boleh Cuti
Diceritakannya juga, perjalanan 10 tahun kisah pengabdiannya di Puskesmas terpaksa berhenti pada akhir tahun 2018 atau di tahun lalu, saat dirinya melahirkan buah hatinya yang pertama.
Alasannya, karena pemerintah mengatur sukarelawan tidak memperoleh hak cuti, meskipun hanya untuk melahirkan. Pilihan sulit, kata Isma, tapi tetap harus dijalani demi si buah hati.
“Waktu itu saya melahirkan, tapi untuk tenaga kontrak tidak ada istilah cuti, jadi dianggap melalaikan kewajiban pekerjaan,” ungkap Isma.
Tapi dirinya bersyukur, karena setahun setelah melahirkan dirinya diperbolehkan kembali untuk melanjutkan pengabdiannya di Puskesmas itu di awal tahun 2020, meski harus turun status.
Kembali mengabdi dengan status sukarelawan, kata Isma, membuat dirinya bahagia karena panggilan jiwa melayani masyarakat. Namun pengabdian kali ini berbeda, karena bersamaan dirinya harus mengabdi untuk suami dan si buah hati.
“Saya harap, pemerintah kalo bisa lebih diperhatikan status tenaga medis apalagi yang wanita dan punya keluarga,” kata Isma.
Menjadi Kartini Ditengah Pandemi
Isma menceritakan, di pengabdian keduanya dirinya tidak lagi diamanahkan sebagai Jurim atau Juru Imunisasi seperti sebelumnya, tapi menangani program lanjut usia atau Lansia.
Namun, seiring mewabahnya covid-19 di Kota Kendari, dirinya sebagai tenaga medis turut dialokasikan untuk mendukung penanganan kesehatan bagi warga terdampak wabah tersebut.
Untuk tanggung jawab penanganan darurat covid-19 ini, dirinya bersama sejumlah rekan lainya duduk di meja screening, yakni pemeriksaan awal pendeteksian paparan covid-19.
“Bukan merawat tapi screening atau mendeteksi. Itu sebenarnya beresiko karena kita yang duluan sambut pasien itu,” ungkap Isma.
Untuk hal ini, kepada Saya, Isma menolak disebut petugas medis garda terdepan penanganan covid-19. Dirinya lebih suka perannya itu disebut pengabdian, ketimbang aksi kepahlawanan.
Meski beberapa poto yang dikirimkannya, terlihat jelas bahwa meja screening adalah tempat terdepan dan pertama yang dikunjungi warga, jika ingin periksa diri apakah terpapar covid-19 atau tidak.
“Untuk sukanya karena sudah membantu masyarakat. Dukanya jarang, itu paling-paling hanya sering meninggalkan anak setiap hari, apalagi saya punya bayi juga,” tulis Isma dengan singkat.
Dalam pengabdiannya itu, Isma juga menceritakan kekhawatirannya pada kondisi keluarga atas penyebaran wabah covid-19, hal itu khususnya terkait posisinya sebagai petugas screening.
Kekhawatiran ini juga dituliskan suami di unggahannya, bahwa dirinya mengharuskan istri untuk mendisinfektan pakaian kerja sekaligus membersihkan diri sebelum bertemu si buah hati.
Ia juga berharap agar wabah covid-19 ini segera berakhir agar masyarakat Kota Kendari merasa aman, serta bisa beraktifitas seperti biasa tanpa rasa was-was akan terpapar wabah asal Cina tersebut.
Saat ditanya, apakah dirinya berharap pengabdiannya itu diganjar status pegawai resmi atau diangkat ASN Pemkot Kendari?, Isma menjawab jika itu tergantung rejeki yang sudah digariskan Ilahi.
“Tapi pemerintah kota mungkin bisa lebih diperhatikan lagi kesejahteraan tenaga medis, karena masih banyak tenaga medis yang pendapatannya dibawah Upah Minimum Kota,” tutupnya.