Penulis: Ir. La Ode Budi
Prinsip dasar dari kemajuan ekonomi daerah adalah jumlah uang beredar di daerah tersebut bertambah. Ada uang “baru” masuk ke daerah itu.
Tulisan ini tidak memaksud uang rutin masuk tahunan dari transfer Pusat (DAU/DAK), tapi uang masuk karena adanya transaksi atas produk di daerah itu yang diperlukan oleh “dunia luar”.
Macam-macam bertambahnya atau aliran uang masuk ke suatu daerah, tiga diantaranya :
Pertama, ada perantauan atau tenaga kerja di luar daerah yang mengirim uang ke keluarganya (orang tua, istri anak, atau famili).
Kedua, adanya kunjungan wisatawan ke daerah itu dan mereka berbelanja (makan, penginapan, transportasi, cendera mata, dan lain,lain). Ini terkait dengan kunjungan wisata. Atau tinggal untuk keperluan lama, seperti berkuliah di kota pendidikan Yogyakarta.
Ketiga, adanya produk unggulan daerah itu yang dijual ke luar.
Terkait poin ketiga, bisa diupayakan masuknya perusahaan (pabrik) buka usaha disana atau bisa juga diupaya produk unggulan berbasis usaha rakyat kebanyakan.
Saya menyebutnya “komersialisasi usaha rakyat”, yaitu suatu upaya agar kita bisa menghasilkan produk yang dijual ke daerah lain. Produknya memanfaatkan keahlian rakyat yang sudah ada, misal bertani atau nelayan.
Patokannya, produk itu bisa dipasarkan ke luar daerah dan karenanya produk itu harus unggul kualitasnya dan menang bersaing saat diperbandingkan dengan produk sejenis dari daerah lain.
Produk yang dirancang dengan sentuhan komersial, tentu memperhatikan kualitas, pembungkus (packaging), mereknya dibangun, upaya pemasaran, rantai penjualan, bahan baku dan alat produksi.
Satu saja unsur di atas tidak ada, upaya menghadirkan produk unggulan daerah itu bisa gagal. Misal saja untuk perikanan tangkap : perahu/kapal harus diganti jika mau tangkap tuna besar (ikan yang dicari ekportir).
Upaya jual ke luar daerah adalah keharusan. Karena kalau hanya dijual di daerah itu, disamping daya belinya terbatas, juga tidak akan ada uang bertambah di daerah itu. Ekonomi daerah monoton. PAD tidak kunjung bertambah.
Penulis tidak memfokuskan pada sumber daya alam, karena hal tersebut tidak abadi tersedia. Suatu waktu akan habis. Dan kadang kalau tidak hati-hati juga meninggalkan kerusakan alam.
Kita ambil contoh Kabupaten Trenggalek di Jawa Timur. Daerah ini tadinya ekonominya sangat terbatas. Pemudanya banyak merantau, karena tidak tersedia lapangan kerja.
Lalu ada inisiatif awal salah satunya dari seorang Pemuda, bernama Sukatno yang memanfaatkan bambu yang banyak tumbuh disana untuk bermacam-macam produk yang bernilai ekonomi. Pemda turun tangan memberikan dukungan penuh.
Produk bambu ini kemudian bisa menembus hotel-hotel bintang dan akhirnya ekspor ke luar negeri. Kesadaran manusia untuk menghindari plastik, telah membuka pasar yang besar bagi produk bambu dari Trenggalek. VOA Indonesia di Amerika : “Kerajinan bambu Trenggalek, dari sesuatu tak berguna, menjadi berkualitas ekspor”. Silahkan buka di google.
Sekarang, semua tanah kosong ditanam bambu. Tidak boleh ada tanah menganggur. Tidak hanya usia produktif yang bekerja mengolah bambu ini, bahkan orang tua dan berkebutuhan khusus ikut bekerja.
Contoh lainnya adalah Banyuwangi yang fokus pada pariwisata. Dari daerah yang dicanda sebagai “Daerah santet dan jin buang Anak”, hingga jadi daerah wisata yang luar biasa. Ayo baca buku : Anti Mainstream Marketing, oleh Azwar Anas, Bupati Banyuwangi.
Saya yakin di Sulawesi Tenggara sudah ada daerah yang memulai hal ini. Produk unggulan ini jadi jalan kesejahteraan bagi daerah, melalui perencanaan yang baik, dilaksanakan dengan baik.
Semoga tulisan di atas, meyakinkan kita agar pada Pilkada terdekat, kita memilih Pemimpin karena moral dan kompetensinya. Bukan karena disodor uang.
Karena memilih karena uang, sama artinya membuang kesempatan daerah untuk maju. Sungguh kerugian yang sangat besar.