NEWS

Literasi Digital Kominfo: Aman Bermedia Sosial, Beretika dan Bijak Saat Membuat Jejak Digital

405
×

Literasi Digital Kominfo: Aman Bermedia Sosial, Beretika dan Bijak Saat Membuat Jejak Digital

Sebarkan artikel ini

 

Redaksi
Morowali Utara – Rangkaian Literasi Digital ‘Indonesia Makin Cakap Digital’ di Sulawesi yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dan Siber kreasi bersama Dyandra Promosindo, dilaksanakan secara virtual mulai 31 Mei 2021. Kolaborasi ketiga Lembaga ini, khusus pada penyelenggaraan Literasi Digital pada wilayah Sulawesi. Memasuki pekan kedua, kegiatan webinar diselenggarakan di Morowali Utara, 16 Juni 2021 dan menghadirkan sejumlah narasumber di antaranya, Gunawan Primasatya selaku pendiri Digital Media Tana Poso sekaligus Co-Founder Yayasan Sikola Mombine, Upi Asmaradhana sebagai Duta Literasi Digital Sulawesi Selatan, Gol A Gong sebagai Duta Baca Indonesia sekaligus Co-Founder SekolahGolAGong.com, serta Imran Rosadi sebagai seorang fotografer wisata sekaligus Kepala Instanusantara Indonesia. Pada episode kali ini diikuti oleh 242 peserta dari berbagai kalangan.

Kegiatan diawali dengan menampilkan sambutan berupa video dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang menyalurkan semangat literasi digital untuk kemajuan bangsa. “Infrastuktur digital tidak berdiri sendiri, jadi saat jaringan internet sudah tersedia harus diikuti dengan kesiapan-kesiapan pengguna internetnya agar manfaat positif internet dapat dioptimalkan untuk membuat masyarakat semakin cerdas dan produktif,” jelas Joko Widodo. Setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan memperkenalkan narasumber oleh moderator kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Dalam webinar kali ini, Gunawan Primasatya menyampaikan materi tentang “Digital Skill: Positif, Kreatif, dan Aman di Internet”. Gunawan menyampaikan fakta menarik bahwa saat ini sebanyak 89% pengguna internet di Indonesia dalam seminggu menonton atau menyaksikan YouTube dibandingkan TV, surat kabar, majalah, dan radio. Fakta lain adalah Facebook menjadi situs nomor tiga terpopuler di dunia. Sedangkan Instagram menjadi media sosial nomor tiga terpopuler di Indonesia. “Ada 2 miliar pengguna WhatsApp di dunia dan sebanyak 60% generasi Z adalah pengguna TikTok,” kata Gunawan.

Berangkat dari fakta-fakta tersebut, Gunawan membeberkan apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak boleh dilakukan di media sosial. Adapun hal yang sebaiknya dilakukan: (1) maksimalkan platform media sosial sebagaimana peruntukannya dan buatlah konten yang bermanfaat; (2) bangun penjenamaan diri (personal branding) dengan baik; (3) kritis terhadap informasi baru; (4) memaksimalkan media sosial untuk pengembangan karir; (5) buat manajemen waktu; (6) hargai karya, pikiran, dan ide orang lain. Adapun hal yang sebaiknya tidak dilakukan: (1) menyebarkan foto/video pribadi apalagi yang bersifat pornografi; (2) kurang hati-hati terhadap data pribadi; (3) mudah percaya; (4) memviralkan amarah dan kebencian; (5) spamming; (6) narsisme yang berlebihan; (7) plagiarisme.

Sementara itu, Upi Asmaradhana membagikan materi mengenai “Digital Ethics: Berekspresi Sehat di Media Sosial”. Upi menjelaskan, etika merupakan cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu kesediaan jiwa seseorang untuk senantiasa patuh kepada seperangkat aturan-aturan kesusilaan (Kencana Syafiie, 1993).

Lantas bagaimana menjalankan etika di media sosial? Upi menyebut hal itu bisa dilakukan dengan cerdas dalam menggunakan bahasa, mengutip sumber kredibel, menghargai orang lain dan karyanya, mempunyai kontrol terhadap konten, menjaga ritme kiriman, menyebutkan sumber dan tidak melakukan plagiasi, serta memastikan unggahan tidak berbau SARA.

“Tips menggunakan media sosial, pertama membatasi penggunaan media sosial. Kedua, menyepatkan waktu mengoreksi, memverifikasi konten sebelum mengirim. Ketiga, membuka ruang diskusi. Terakhir, jujur mengaku jika salah,” katanya.

Narasumber ketiga, yakni Gol A Gong, berbagi materi tentang digital culture. Gol A Gong melihat saat ini ada banyak masalah dengan literasi digital masyarakat Indonesia. Kondisi ini dapat dilihat dari maraknya hoaks, gim daring, konten bermuatan pornografi, munculnya pendengung (buzzer) dan akun bodong. Apalagi di era pandemi saat ini, pengguna ponsel pintar yang dapat mengakses internet bertambah banyak hingga mencapai 370 juta.

Data Kominfo melaporkan sebanyak 196 juta diantaranya sudah terkoneksi dengan internet. Dari sini, maka perlu bagi setiap orang untuk mampu mengelola literasi digital secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Netiquette menjadi salah satu pedomannya.

Narasumber terakhir, Imran Rosadi membagikan materi soal “Digital Safety: Kenali dan Pahami Rekam Jejak di Era Digital”. Apa itu jejak digital? Definisi sederhana di Wikipedia menyebutkan, jejak digital adalah serangkaian aktivitas, tindakan, kontribusi, dan komunikasi digital unik yang dapat dilacak dan diwujudkan di internet atau perangkat digital. Jejak digital terbagi dua, yaitu pasif dan aktif.

Jejak digital menyimpan risiko dan bahaya: (1) Digital Exposure. Akses bebas yang didapatkan orang-orang tak bertanggung jawab terhadap data pribadi. Seperti pencurian identitas dan tindak kriminal lain. (2) Phishing. Serangan manipulatif dengan membobol data penting seperti rekening ATM, basis data, dan fail berharga. (3) Reputasi profesional, yakni mencari aktivitas yang kurang sesuai di media sosial untuk dimanfaatkan (persaingan bisnis/lawan politik).

Melihat risiko dan bahayanya jejak digital, Imran pun memberikan tips mengelola dan menjaga jejak digital. Pertama, hindari penyebaran data penting (alamat lengkap, rekening ATM, nomor HP). Kedua, buatlah kode sandi yang kuat untuk semua media sosial (verifikasi ganda). Ketiga, jangan kirim sesuatu yang sifatnya terlalu personal (foto KTP, nama penting). Keempat, gunakan layanan pelindung data (find my device, app lock). Terakhir, hapus informasi sensitif di media sosial (riwayat pencarian di Google, misalnya).

You cannot copy content of this page