RAHA – Masyarakat Kecamatan Napabalano, Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara (Sultra) khususnya Kelurahan Tampo serta Kelurahan Napabalano yang selama ini kurang lebih 15 tahun telah menggunakan dan mengelola lahan hutan produksi untuk bercocok tanam sebagai sumber kehidupan bagi mereka, kini dibuat resah karena adanya salah satu perusahaan yang diketahui bernama PT Seleraya Agri yang diduga akan mengambil alih lahan tersebut untuk memproduksi tanaman jangka panjang yakni jati nuklir.
Namun dikalangan masyarakat itu sendiri menuai pro dan kontra terkait masuknya perusahaan tersebut.
Salah satu masyarakat pemilik lahan yang tidak setuju dengan hal itu, Harmoko menilai, dampak dari masuknya perusahaan tersebut dengan menggunakan lahan mereka, tidak akan dapat membantu perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dari sistem bagi hasil yang ditawarkan oleh perusahaan, Harmoko mengatakan, masyarakat akan mendapat bagian sebanyak 12,5 persen dari hasil pengolahan lahan tersebut dan belum diketahui dalam bentuk apa bagian untuk masyarakat yang dimaksud. Inilah salah satu yang menjadi acuan bagi masyarakat untuk menolak lahan mereka diambil alih. Pasalnya kata dia, penghasilan masyarakat saat ini lebih besar dibanding dengan hasil yang akan didapatkan oleh masyarakat nantinya jika bermitra dengan perusahaan.
“Kita difungsikan sebagai buruh, sementara penghasilan petani sini lebih besar dibanding dengan apa yang akan didapatkan nanti. Contohnya petani tomat bisa meraup keuntungan dari tujuh sampai sepuluh juta tiap kali panen sesuai harga pasaran,” terangnya saat ditemui di kediamannya, pada Sabtu (27/1/2018).
Ia juga menjelaskan, izin perusahaan tersebut masuk pada masa pemerintahan dr Baharuddin dan banyak masyarakat yang belum mengetahuinya karena tidak pernah dilibatkan soal rekomendasi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Muna pada saat itu. Sehingga menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat yang setuju dan tidak setuju.
Untuk itu, Ia meminta kebijakan Pemda untuk berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan agar tidak memberikan izin, karena keamanan dan kenyamanan masyarakat merasa terganggu dengan adanya hal ini.
“Inilah yang kita ragukan, karena itu hari, hampir terjadi konflik antar warga yang pro dan kontra dalam kawasan saat melakukan pengukuran, namun apapun itu masyarakat sudah siap menghadapi sampai perusahaan tersebut membatalkan niatnya untuk mengolah kawasan hutan produksi walaupun nyawa taruhannya, mengingat lebih banyak yang tidak setuju dibanding dengan yang setuju,” katanya.
“Silahkan masuk di Muna tapi jangan di Napabalano,” sambung dia dengan nada tegas.
Dia juga menambahkan, masyarakat telah melakukan aksi sebanyak tiga kali dan akan terus dilakukan sampai benar-benar ada kejelasan soal lahan tersebut. Dari hasil aksi ketiga yang telah dilakukan kemarin kata Harmoko, Pemda kemudian mengajak masyarakat untuk membicarakan hal tersebut di Kantor Daerah pada Senin depan.
Sementara itu di lain tempat, Bardal, salah seorang penggarap lahan yang setuju dengan masuknya perusahaan tersebut menjelaskan, keberpihakannya pada perusahaan bukan semata-mata karena tanpa alasan.
Menurutnya, hal ini merupakan bagian dari salah satu solusi peningkatan ekonomi masyarakat, karena kata dia, jika lahan tidur yang akan dikelola sendiri oleh masyarakat tidak akan mampu mengubah kehidupan masyarakat, baik secara finansial dan sebagainya.
Karena jika dapat bermitra dengan perusahaan, akan ada skema-skema tentang upah tenaga kerja dan bagi hasil yang diperoleh masyarakat itu sendiri. Selain itu lanjutnya, masyarakat juga dapat menggunakan lahan diantara tanaman-tanaman jati yang berdiri tegak dengan jarak sekitar empat sampai lima meter untuk ditanami dengan tanaman jangka pendek dan hasilnya untuk masyarakat itu sendiri.
“Ini juga kan bagian dari solusi Pemerintah Pusat untuk penyerapan tenaga kerja, karena kurangnya lapangan kerja, sehingga banyak pemuda pergi merantau di daerah lain seperti oksibil, morowali dan masih banyak lagi,” tukas Bardal.
Bardal juga mengatakan, perusahaan hanya akan menggarap lahan dari masyarakat yang setuju saja tanpa mengganggu lahan masyarakat yang tidak setuju. Kata dia, masyarakat yang telah setuju berada pada kisaran 100 hingga 130 orang dan total lahan sekitar 150 hektar dari seluruh lahan masyarakat yang setuju namun masih akan bertambah lagi.
Dia berharap kepada seluruh masyarakat untuk menyatukan pandangan dalam memperbaiki daerah dengan menyambut program pemerintah agar masyarakat dapat diberdayakan.
“Mengenai masyarakat yang kontra, mari sama-sama kita kedepankan hukum, jika itu adalah berdasarkan supremasi hukum, berikan edukasi yang baik pada masyarakat. Sementara untuk sistem bagi hasilnya nanti, 85 persen untuk perusahaan, 12,5 persen untuk penggarap lahan, dan 2,5 persen untuk Bumdes,” pungkasnya.
Reporter: Erwinsyah SJ
Editor: Kardin