Oleh : Rusli
Ungkapan sederhana“Rusli 7/12/2020, Bertolak dari kenyataan eksistensi media massa pada era pasca pemerintahan Soeharto yang ditengarai oleh kuatnya dominasi penguasa pada semua infrastruktur politik, dengan tujuan menghegomi atau untuk pembelajaran politik untuk mengapolitisasi warga negara. Media menjadi perpanjangan tangan dalam setiap kepentingan penguasa dalam hal ini pemerintah, bahasa politik bermakna ganda untuk tujuan penghalusan maupun untuk kepentingan, keduanya adalah bagian dari politik hegemoni sebagai syarat untuk mengukuhkan kuasa penguasa setiap kebijakan yang akan di ambil utnuk kepentingan melalui hegemoni media yang pro terhadap penguasa/pemerintah. Karena sistem politik Indonesia berada dalam pusaran globalisasi, eksistensi media tak luput dari apa yang ada dalam pendirian kaum hegemonian, menempatkan kebudayaan global yang bersifat tunggal sebagai watak kapitalisme yang monolitik (struktur modal kapitalistik), sehingga seluruh ekspresi kebudayaan termasuk ekspresi simboliknya mengacu pada ekspresi dominan atas nama pasar, dan media tidak berfungsi sebagai representasi maupun rekonstruksi realitas sosial politik. Dan pada umumnya, ketika pakar politik merasa nyaman dengan melihat konstribusi politik dari media, maka mereka menjadi kurang memiliki keinginan untuk melihat media berita sebagai sebuah institusi. Dengan kata lain, para jurnalis telah berhasil untuk meyakinkan kalangan akademisi, bahwa mereka bukan aktor politik,
Kegagalan dalam memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap prospek demokratisasi di Indonesia dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik, dalam berbagai model metateori dan pisau analisis kritis mengenai perkembangan politik di Indonesia pasca Soeharto. Karena para institusionalis, khususnya Indonesianis, yang mempertahankan cara pandang mereka dalam memahami Indonesia. Dibandingkan dengan institusionalisme, pendekatan ekonomi politik, lebih menolong dalam memberikan penjelasan yang lebih baik mengapa modal atau politik uang semakin dominan mengontrol perkembangan politik Indonesia pasca-1998, sehingga telah menyebabkan kegagalannya dalam mewujudkan konsolidasi demokratis dalam beberapa tahun sesudahnya. Kajian mengenai media di negara berkembang cenderung lebih menekankan dominasi atau hegemoni kekuasaan negara, di mana media digunakan sebagai alat propaganda negara atau menjadi alat kepentingan untuk melestarikan ideolog i penguasa (hegemoni). Betul yang dikatakan oleh salah satu tokoh teori kritis yaitu Habermas yang mengungkapkan bahwa dalam ruang publik yang menempatkan media sebagai salah satu bagian dari sarana “ruang bersama” diharapkan mampu melepaskan diri secara sadar dari kekuatan hegemonik yang melingkupinya. Jika ruang publik justru didominasi antara lain oleh media yang diorientasikan pada pencerahan dan emansipasi, maka media telah menunjukkan eksistensi kritisnya.
Dalam hal ini ada kepentingan yang cukup signifikan dari pemegang kekuasaan untuk menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai tujuannya. Sebab itu melihat pentingnya sebuah solusi sosialis atas praktek demokrasi liberal Barat dan model pembangunan kapitalisnya, serta neofeodalisme, neoliberalisme, dan bentuk-bentuk baru oligarki yang muncul di negara demokrasi baru. Dengan demikian, solusi terhadap permasalahan sistem politik dan kekuasaan tidak lagi bersifat institusional di permukaan, namun efektif menjawab akar permasalahannya. Relasi ekonomi dan politik dalam operasi media menganalisis posisi media di tengah pergulatan kepentingan dan ideologi dalam konteks kepemilikan (ekonomi) dan kekuasaan (politik). Vincent Mosco mengemukakan tiga konsep penting menjelaskan relasi ekonomi politik media, yakni: komodifikasi (commodification), spasialisasi (spatialization) dan strukturasi (structuration). Maka apa yag di katakana oleh Golding dan Murdock lebih menitikberatkan kajian ekonomi politik media dari perspektif kritis. Bagi mereka, media seharusnya dilihat secara lebih holistik, karena produksi, distribusi, dan konsumsi media berada dalam sebuah lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang strukturnya saling memengaruhi. Terdapat kemungkinan berperan dalam mendominasi isi pesan dan melegitimasi kelas dominan. Pemilik modal bisa mengambil keuntungan atas preferensinya terhadap komodifikasi produk media. Fokus pendekatan ekonomi politik media pada kajian utama tentang hubungan antara: (1) Struktur ekonomi-politik, (2) Dinamika media, dan (3) Ideologi media. Penelitian ekonomi politik diarahkan untuk mengkaji objek tentang: (1) Kepemilikan media, (2) Kontrol media, dan (3) Pasar media. Produksi media dalam pendekatan ekonomi politik ditentukan oleh nilai isi media yang beragam di bawah kondisi tekanan: (1) Ekspansi pasar, (2) Kepentingan ekonomipolitik pemilik modal, dan (3) Pembuat kebijakan media.
Ketika orientasi konten media seperti produk jurnalistik lebih dominan sebagai komoditas ekonomi dibandingkan dengan orientasi edukasi, maka khalayak atau publik dengan sendirinya terlibat dalam transaksi ekonomi dengan media. Khalayak bukannya sedang menjalankan aktivitas untuk penguatan dimensi sosial dan kemanusiaan mereka, tetapi justru terjebak dalam transaksi ekonomi yang justru cenderung tidak disadarinya. Karenanya itu dalam pusaran media dengan berbagai kajian terhadap media massa perlu mengembangkan pendekatan multiperspektif yang mencakup beragam artifak dengan mengumpulkan informasi secara mendalam tiga dimensi yakni (1) produksi dan ekonomi politis dari budaya (2) analisis tekstual dan kritik terhadap artifaknya dan (3) kajian mengenai penerimaan khalayak dan penggunaan produk budaya/media secara polisemi dengan metode pengumpulan data empiris. Seperti halnya dalam pendekatan ekonomi politik, dalam studi kebu- dayaan terdapat berbagai varian yang antara lain ditunjukkan dengan pengelompokkan berikut: dekonstruk- si, rekonstruksi dan strukturalis. Pengelompokan lainnya (Golding dan Murdock, 1996) adalah analisis teks, analisis relasional dan supremasi khalayak.
Kondisi ini dapat menjadi tantangan bagi para para pegiat media massa untuk mengembangkan konsep-konsep yang memungkinkan untuk memahami gejala tersebut dengan baik. Dua kelompok pendekatan kritis yakni ekonomi politik media dan studi kebudayaan mempunyai kesamaan, kelebihan dan kekurangan. Dengan memperhatikan hal tersebut kedua pendekatan dapat saling belajar untuk memperkaya pendekatan masing – masing. Bagi pendekatan ekonomi politik media yang cenderung melihat dari satu sisi yakni produksi dan distribusi media, pendekatannya dapat diperbaiki dengan menambah satu sisi yakni konsumsi oleh khalayak dengan memberi perhatian pada kebebasan khalayak dalam menginterpretasi. Sedangkan bagi studi kebudayaan adalah dengan memberi perhatian pada aspek ekonomi-politik dan metodologi empirisme dalam etnografi. Karena Era kebebasan media dapat dimaknai sebagai kebebasan dari kekangan orde baru namun tidak dari kepentingan yang lain. Pasca orde baru media menggalami masa kekangan baru dari pemilik modal. Selain sebagai medium, media juga adalah sebuah institusi bisnis yang hidup dari pemodal. Akibat yang muncul adalah hadirnya kepentingan pemilik modal dalam mengarahkan arah pemberitaan. Dengan demikian media kerap dijadikan instrument bagi kelas yang mendominasi berita yang juga merupakan hasil interaksi antara kepentingan ekonomi dan kepentingan politik yang direpresentasikan kembali oleh media.