Oleh : La Ode Muhammad Azdhar Baruddin (Penulis merupakan Alumni Mahasiswa Teknik
UMB Jakarta)
Pandemi covid-19 menyebabkan Pilkada 2020 mengalami penjadwalan ulang. Pemerintah bersama KPU dan DPR sepakat menunda Pilkada 2020 menjadi tanggal 9 Desember 2020, melalui Perppu No. 2 Tahun 2020. Tercatat ada 270 daerah yang akan mengikuti tampil di pilkada tersebut. Rincinya adalah 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.
Pelaksanaan Pilkada ditahun 2020 dengan pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia, membuat pelaksanaannya berbeda. Hal ini dikarenakan pelaksanaan Pilkada yang tetap harus mengikuti mekanisme protokol kesehatan. Namun hal ini tidak menjadi hambatan dalam melaksanakan Pilkada yang berintegritas.
Pilkada masih menjadi pesta rakyat yang berpengaruh untuk menentukan kemajuan suatu daerah dalam lima tahun mendatang. Hal ini tidak hanya dimulai dari hari pemungutan suara saja. Namun melalui beragam mekanisme, seperti pemutakhiran daftar pemilih, sampai dengan penetapan hasil Pemilu. Banyak kasus terjadi saat rekapitulasi suara, oleh karena itulah Pilkada ini harus dikawal dari proses awal hingga akhir, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan oleh pemerintah membuat terjadinya batasan dalam kampanye Pilkada tahun ini. Selain itu adanya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19 yang mengatur secara spesifik tentang larangan yang dilakukan dalam pelaksanaan Pilkada lanjutan.
Hal ini tertuang dalam BAB XIA yang mengatur tentang larangan dan sanksi bagi masing-masing peserta. Salah satunya adalah pada pasal 88C yang menjelaskan bahwa KPU melarang tim kampanye untuk melakukan kegiatan dengan mengumpulkan massa dalam jumlah yang besar. Sehingga kampanye daring lebih diutamakan, meskipun fatka di lapangan ada beberapa pasangan paslon yang melakukan kampanye denga jumlah besar. Dalam kurun waktu 14 (empat belas hari) lagi kita akan memilih Kepala Daerah yang akan memimpin suatu daeerah lima tahun kedepan. Pemilih pemula menjadi sasaran utama para pasangan calon Kepala Daerah, terlebih penggunaan media daring dalam kampanye tahun ini.
Pemilih pemula berperan penting dalam Pemilu dikarenakan kelompok pemilih pemula ini merupakan kelompok dengan jumlah kuantitatif relatif lebih banyak daripada kelompok pemilih lainnya. Kelompok ini juga memiliki perilaku sulit diatur dan sulit diprediksi, hal ini pula yang membuat Parpol (Partai Politik) pengusung calon Kepala Daerah tidak dapat memetakan secara pasti suara yang dapat mereka peroleh dari kelompok pemilih pemula.
Pemilih pemula juga memiliki kecondongan untuk menjadi golput karena ketidaktahuan atau sikap acuh mereka sebagai akibat dari banyaknya pilhan. Selain itu, hampir semua organisasi sosial politik mengklaim sebagai organisasi yang mampu menyalurkan aspirasi pemilih pemula. Sehingga begitu berpengaruhnya pemilih pemula dalam Pilkada ini.
Memilih merupakan hak politik yang paling asasi, maka dari itu hak ini harus digunakan dengan baik. Segmen pemilih pemula dan kecurangan dalam Pilkada sangat erat, batasnya ibarat setipis benang. Oleh karena itulah, pentingnya edukasi kepada segmen pemilih pemula untuk tidak berpartisipasi dalam segala tindakan kecurangan yang biasa terjadi saat mendekati pemilihan.
Sebagai generasi muda, sudah seharusnya kita mewujudkan kepedulian kita sebagai generasi penentu masa depan bangsa, dengan berpartisipasi dalam Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember nanti. Pemilih pemula dapat menyalurkan hak asasi dan mengekspresikan aspirasinya secara langsung, bebas, dan rahasia untuk menentukan pemimpin yang akan memimpin daerahnya di masa yang akan datang.
Kebebasan untuk memilih sosok pemimpin ini hendaknya memenuhi kualifikasi, seperti mempunyai integritas dan kapabilitas yang nyata, dan bukan merupakan alibi untuk menarik simpati saja. Pilkada ini harus dilaksanakan dengan mengimplementasikan asas-asas Pemilu yang Luberjurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil). Tidak ada yang boleh memaksa atau dipaksa oleh siapapun untuk memilih partai atau calon wakil rakyat. Apabila adanya tindak kecurangan seperti money politic atau politik uang, sudah seharusnya hal itu ditindak tegas dan ditolak secara nyata dan kritis. Politik uang (Money Politic) atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan
umum (Wikipedia). Tindakan tersebut sudah pasti sangat mencederai demokrasi Bangsa. Dimana rakyat harus ditekan kebebasannya dalam menentukan pilhan sesuai hati nurani. Yang lebih
menyedihkan adalah suara rakyat dijual dengan harga yang tidak seberapa, lalu nasibnya masih menjadi tanda tanya selama lima tahun.
Faktor ekonomi yang menurun di kalangan masyarakat karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan oleh pemerintah, membuat pendapatan masyarakat berkurang, bahkan merosot tajam. Sehingga money politic atau politik uang dalam Pilkada, diperkirakan mengalami kenaikan yang amat pesat. Ketua Komisi Pemilihan Umum, Arief Budiman mengingatkan peserta pemilu untuk menghindari praktik money politic atau disebut dengan politik uang. Karena money
politic ini diperkirakan semakin tumbuh subur di era pandemi dengan faktor utama ekonomi yang sedang merosot tajam. Meskipun belum ada pembuktian, Pilkada tahun ini sangatlah rawan dengan politik uang. Sebab kondisi pandemi corona bisa dijadikan modus praktek politik uang.
Misalnya, seperti berupa pembagian alat bantu kesehatan, alat pelindung diri, atau bentuk bantuan sosial lainnya. Apabila terbukti secara sah oleh hukum pasangan calon Kepala Daerah melakukan
politik uang secara terstruktur, sistematis, dan dalam lingkup yang masif, maka peserta tersebut akan mendapatkan sangsi didiskualifikasi. Hal ini telah diatur dengan tegas, dalam Pasal 286 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.Selain diskualifikasi, pelaku yang melakukan politik uang akan dikenakan pasal UU Pemilu. Salah satunya dalam pasal 515 UU Pemilu mengatur bawa apabila pemberi uang memaksa pemilih tidak menggunakan hak suaranya, maka diancam hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp36 juta.
Beragam cara dan upaya yang dilakukan para calon Kepala Daerah, dalam menarik simpati para pemilih, terkhususnya segmen pemilih pemula untuk mendapatkan suara. Karena jumlahnya yang cukup besar, sehingga pemilih pemula menjadi ‘rebutan’ berbagai kekuatan politik. Partai politik biasanya akan menarik perhatian para pemilih pemula dengan cara membuat iklan dan membentuk komunitas kalangan muda dengan aneka kegiatan. Para pemilih pemula hendaknya sadar bahwa pemilih pemula bukan merupakan objek politik yang dengan mudahnya dipengaruhi, dengan aneka rayuan dan iming-iming sesaat. Pemilih pemula merupakan subyek politik yang mempunyai kemandirian dan kebebasan untuk memnetukan Kepala Daerah dengan aspirasi dan hati nuraninya sendiri, tanpa pengaruh dan paksaan dari siapapun.
Menjadi pemilih yang cerdas merupakan pasrtisipasi dalam membangun masa depan suatu daerah dan bangsa kedepan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengenali calon yang akan dipilih, menggunakan hak pilih dengan benar sehingga suara yang digunakan dapat sah secara hukum, mengetahui visi dan misi masing-masing calon, mengetahui rekam jejak calon dan partai politik pengusungnya, dan mengawasi jalannya Pilkada serta kinerja calon setelah mereka terpilih. Sekarang sudah saatnya generasi muda Indonesia menjadi pelopor pemilih pemula dan pejuang demokrasi. Apatis dalam pemilu dan perilaku-perilaku buruk lainnya seperti golput dan asal pilih tidak lagi pantas untuk dijadikan sebagai acuan. Dengan menjadi pemilih pemula yang cerdas, berarti telah ikut berpartisipasi menyumbang kemajuan bangsa, bukan menjadi penyumbang kerusakan bangsa. Ir. Soekarano pernah berkata ” Berikan aku 10 (sepuluh) orang tua, akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 1 (satu) pemuda, maka akan kuguncangkan dunia”. Hal ini membuktikan bahwa betapa besarnya pengaruh generasi muda bagi kemajuan suatu bangsa. Dan betapa beruntungnya Indonesia, jika pemuda-pemudinya tersebut tidak apatis dalam Pilkada ini.
Sudah saatnya, kita semua sebagai rakyat di negeri ini, baik itu khususnya aktor politik dan masyarakat pada umunya, mempraktekkan proses demokrasi pilkada yang bersih dan benar. Politik uang dengan tegas harus ditolak.
Untuk itu, pemerintah dan segenap rakyat indonesia harapnnya dapat bersama-sama mengawal jalannya pilkada serempak tahun 2020. Di tengah-tengah kondisi wabah pandemi corona yang masih melanda negeri ini, jangan ada lagi wabah yang bernama politik uang mencederai demokrasi pemilihan kepada daerah. Tanamkan dalam pikiran (mindset) bahwa “Politik Yes, Money Politik No”. Sehingaa pilkada di masa pandemi ini benar-benar bersih.