INDONESIA – Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengatakan ada beberapa faktor yang membuat perempuan Indonesia rentan terpapar paham radikal antara lain faktor agama, sosial dan budaya yang membuat perempuan Indonesia terpinggirkan. Apalagi, kata dia, perempuan di pedesaan yang tingkat pendidikan dan ekonominya rendah.
“Utamanya di pedesaan tidak menjadi korban dari rekrutmen ISIS-lah. Di sana itu akhirnya kita harus menghadapi anak-anak gadis kita menikah, lalu apabila suaminya kombatan meninggal di peperangan. Nanti dinikahkan lagi oleh kombatan lain, mau tidak mau harus diterima begitu saja. Kasihan kan dan mereka merasa itu sebagai kepatuhan sebagai seorang istri, tidak boleh protes,” jelas Susaningtyas dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (20/6).
Susaningtyas menambahkan pencegahan penyebaran paham radikal ini tidak bisa dilakukan secara terpisah dan sendiri-sendiri, seperti oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kepolisian dan TNI. Menurutnya, semua pihak terkait seperti dinas sosial, dinas pendidikan, dinas agama harus dilibatkan dalam gerakan pencegahan paham radikal ini.
Dari kanan ke kiri: Direktur Nusantara Institute Sumantho Al Qurtuby, pengamat militer Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati dan Direktur Pencegahan BNPT Hamli saat berdiskusi di Jakarta, Kamis (20/6/2019). (VOA/Sasmito)
Di samping itu, menurutnya, perlu ada gerakan literasi bagi perempuan Indonesia untuk memberikan pemahaman yang benar tentang agama dan ideologi Pancasila yang sudah disepakati bersama.
“Perempuan itu harus mengerti haknya, apa itu demokrasi. Sebenarnya yang dikatakan thogut itu apa sih? Jadi jangan semata-mata percaya, bahwa itu yang harus dipercaya. Itu adalah Pancasila dan demokrasi sebagai thoghut (tuhan selain Allah, red.), aparat dan orang yang tidak sepaham dianggap thoghut,” tambahnya.
Beberapa tahun terakhir ini aksi teror di Indonesia tidak hanya melibatkan laki-laki saja melainkan juga perempuan. Para perempuan ini terlibat dalam penyebaran radikalisme di media sosial dan menjadi pelaku bom bunuh diri. Salah satu contohnya yaitu keterlibatan perempuan dalam rentetan teror bom di 3 gereja di Surabaya, Jawa Timur pada tahun lalu.
BNPT Mengaku Sudah Punya Program Penguatan Perempuan & Remaja
Menanggapi itu, Direktur Pencegahan BNPT Hamli menjelaskan telah memiliki program penguatan untuk perempuan dan kelompok remaja. Sebab, kata dia, kelompok remaja juga memiliki kerentanan yang sama untuk direkrut dan terpapar radikalisme.
Direktur Pencegahan BNPT Hamli. (Foto: VOA/Sasmito)
“Sebenarnya yang disasar hampir semua orang yakni laki-laki dan perempuan sama saja. Jadi kita juga memberikan penguatan terhadap kelompok rentan perempuan dan remaja. Karena memang yang ada sekarang mereka yang menjadi sasaran,” jelas Hamli.
Hamli menjelaskan ada 2 pendekatan yang dilakukan pemerintah dalam memerangi radikalisme yaitu dengan pendekatan hukum dan pendekatan lunak seperti program deradikalisasi dan kontra radikalisasi yang menggandeng sejumlah pihak seperti artis. Untuk penegakan hukum, ia menyebut total sudah ada 2.000an orang yang ditangkap kepolisian sepanjang periode tahun 2000-2019.
BNPT: Kondisi Negara yang Kritis Rentan Disusupi Teroris
Warga Harus Didorong Berani Menyuarakan Kebenaran
Sementara itu, Direktur Nusantara Institute, Sumantho Al Qurtuby menjelaskan tantangan Indonesia saat ini yaitu menjaga keragaman di Indonesia dari tindakan-tindakan intoleransi dan kekerasan. Terlebih kata dia, telah muncul kelompok-kelompok agama, ideologi dan politik intoleran yang bertentangan dengan keragaman. Karena itu, kata dia, kelompok mayoritas yang selama ini diam terhadap intoleransi perlu bersuara secara bersama-sama untuk menjaga keragaman di Indonesia.
Perempuan Indonesia Rentan Terpapar Radikalisme
“Jangan pernah takut menyuarakan kebenaran, jangan pernah takut prinsip-prinsip yang kita anggap benar. Itu yang saya lakukan kan begitu, meskipun kita digebukin di medsos, silakan saja,” ujarnya.
Sumantho yang juga menjadi dosen di salah satu kampus di Arab Saudi juga menuturkan telah terjadi perubahan positif di negara-negara Timur Tengah. Karena itu, kata dia, Indonesia semestinya tidak melakukan sebaliknya apa yang telah dilakukan negara-negara di Timur Tengah tersebut. (sm/em)