INDONESIA – Setidaknya 16 kelompok sipil di Bandung melangsungkan long march, Jumat (8/3) siang, menuntut kesetaraan bagi perempuan. Kelompok yang menamai dirinya Aliansi Clamber ini fokus menuntut hak-hak perempuan di bidang buruh, lahan, dan pendidikan.
Annisa Nurul Jannah dari Perempuan Mahardhika mengatakan isu perempuan belum dapat perhatian jelang Pilpres. Masalah perempuan hanya dilihat dari keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen.
ILO: Kesenjangan Gender Masih Lebar dalam Dunia Kerja
Baa Juga :
- World Water Forum ke-10 Sejalan dengan Kearifan Lokal Bali
- Pj Bupati Harmin Ramba Dianugerahi International Certificate of Excellence and Recognition
- Sukses Selenggarakan Pemilu 2024, PPLN Istanbul Gunakan Tiga Metode
- Pemprov Sultra Ekspor Perdana Biji Pinang, Pj Gubernur : Luar Biasa
- Ketum SMSI Ucapkan Selamat untuk Presiden Taiwan Terpilih
- AS Setujui Paket Stimulus Ekonomi, Bursa Saham Global Girang
“Tidak ada satu pasang pun capres yang dia mengambil isu perempuan sebagai satu isu yang penting dalam perdebatannya. Mereka hanya sampai membahas keterwakilan perempuan di parlemen. ‘Oh perempuan sudah diberikan ruang 30 persen untuk duduk di parlemen’,” ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (6/3/2019) siang.
“Padahal itu tidak sama sekali menyelesaikan permasalahan-permasalahan perempuan yang ada. Justru negara abai melihat permalsahan perempuan yang lebih krusial dari itu,” tambahnya.
Aliansi ini mencatat sejumlah masalah utama yang dihadapi perempuan saat ini, yakni di sektor buruh, lahan, dan pendidikan.
Para pekerja beristirahat di sela pawai Hari Buruh (May Day) di Jakarta, Indonesia, 1 Mei 2018. (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Cuti Hamil dan Melahirkan Dipersulit
“Di sektor buruh, perempuan kerap dipersulit saat mengurus cuti haid, hamil, atau melahirkan. Ketika diperbolehkan cuti pun, perempuan kerap tiba-tiba dipecat.
“Untuk cuti hamil aja itu sulit banget. Bahkan tidak jarang cuti hamil berujung di-PHK sepihak. Dengan alasan-alasan yang sebenarnya tidak masuk akal diberikan oleh pihak perusahaan,” jelasnya.
Riset Perempuan Mahardhika tahun 2017 di KBN Cakung, Jakarta Utara, mencatat 50 persen buruh perempuan takut saat hamil. Survei ini digelar selama 5 bulan dan mengumpulkan data dari 773 buruh di 45 pabrik. Survei ini mengungkapkan 25 persen buruh yang hamil tetap diwajibkan lembur, sementara 4 dari 25 orang yang hamil menyembunyikan kehamilannya.
Padahal, cuti untuk hamil dan melahirkan sudah dijamin di dalam UU Ketenagakerjaan. Namun, ujar Supinah dari Konfederasi Serikat Nasional (KSN), pelaksanaannya tidak tegas.
“Tapi pada praktiknya hampir tiap perusahaan banyak yang tidak melakukan atau tidak melaksanakan, tidak mematuhi UU Ketenagakerjaan tersebut, di sini jelas sangat-sangat mempengaruhi, merugikan buruh perempuan sendiri,” ungkapnya dalam kesempatan yang sama.
Eva Eryani Effendi (kiri) memegang bukti aduan ke Komnas HAM dan Budi Rahayu (kanan) memegang surat bukti laporan ke kepolisian atas dugaan proyek rumah deret melanggar UU Lingkungan Hidup. (Foto: istimewa)
Dia menuntut pengawasan ketat dari pemerintah yang jadi tanggung jawab pengawas tenaga kerja. “Di mana letak kesalahannya? Pengawasan yang lemah. Tidak ada keseriusan dalam menangani diskriminasi perempuan. Kenapa? Di sini banyak sekali yang berkempentingan,” ujarnya.
Menderita Dua Kali
Sementara itu, korban penggusuran Eva Eryani Effendi, mengatakan masalah agraria atau lahan membuat perempuan sengsara dua kali. Eva adalah warga Tamansari Bandung yang digusur oleh pemerintah kota pada kurun 2017-2018. Upaya hukum untuk menuntut hak-hak warga masih berjalan, namun kata Eva perempuan lebih terkena dampaknya.
“Wilayah kita sudah ambruk ancur kayak gini tentu yang paling ibu-ibu pikirkan adalah bagaimana anak-anaknya sehat dengan keadaan wilayah seperti ini. Bagaimana lingkungan kami sudah tercemar dengan banyak debu, anak-anak kami jadinya sering sakit,” jelasnya.
Eva menambahkan, perempuan dibebani tugas mengurus keluarga. Karena itu, perempuan merasakan dampak lebih besar.
“Problema yang paling dirasakan bahwa semua pekerjaan rumah, anak-anak, kesehatan dan bapak-bapaknya itu sendiri, itu adalah masalah wanita. Masalah bagaimana seorang ibu mempunyai keluarga, punya anak, di tengah-tengah proses penggusuran,” jelasnya.
Kelompok solidaritas Agni berunjuk rasa di sekitar lokasi wisuda UGM, meminta kampus mengeluarkan HS, pelaku pelecehan seksual terhadap Agni. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)
Kampus Belum Lindungi Perempuan dari Kekerasan Seksual
Di samping isu buruh dan lahan, masalah kekerasan seksual mendapat perhatian besar setelah perkosaan yang menimpa Agni, mahasiswi UGM. Anggota Aliansi Clamber Rico Saputramengatakan kampus belum jadi tempat aman bagi perempuan.
“Pelecehan seksual dan kekerasan seksual justru dilegitimasi oleh pihak perguruan tinggi. Tentu kita masih hangat gitu dengan kasus Agni, bagaimana Universitas Gadjah Mada justru memilih jalan damai untuk menyelesaikan kasus pemerkosaan yang terjadi,” paparnya.
Dalam perkosaan terhadap Agni, UGM tidak memberikan sanksi akademik apapun terhadap pelaku inisial HS. Malahan rektorat memfasilitasi pertemuan antara pelaku dan korban. Pihak kampus menganggap masalahnya berakhir damai. Padahal pendamping mengatakan Agni hanya menerima maaf korban, bukan menghentikan kasusnya.
Hari Perempuan di Bandung Tuntut Hak Buruh, Lahan, dan Pendidikan
“Perguruan tinggi harusnya berpihak pada korban, ini malah perguruan tinggi memilih jalan damai. Ini kan bukti bahwa perguruan tinggi — apalagi ini UGM di bawah negara— justru melegitimasi kasus kekerasan seksual yang ada,” pungkasnya.
Dengan terus terjadinya kekerasan seksual, Annisa dari Perempuan Mahardhika juga terus mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS). RUU yang spesifik mengatur 9 bentuk kekerasan seksual ini masih mandek di DPR. Di sisi lain, dukungan terhadap RUU ini juga menghadapi penolakan dari sebagian masyarakat yang menganggapnya tidak sejalan dengan nilai-nilai Indonesia. [rt/em]