OPINI

Ring Road, Master Piece Bagi Sang Pelopor Pembangunan Muna Barat

2812
×

Ring Road, Master Piece Bagi Sang Pelopor Pembangunan Muna Barat

Sebarkan artikel ini
Jalan Ringroad Kota Laworo, Muna Barat.
Jalan Ringroad Kota Laworo, Muna Barat.

Penulis : Koordinator Media Center Pembangunan PUPR Mubar, Surachman

OPINI – Mendengar frasa “ring road” rasa-rasanya kita sangat familiar dengan hal itu. Tak harus keluar negeri untuk sekedar mendengar bahkan melihat langsung “ring road”. Di Indonesia sendiri, masyarakat telah banyak yang memahami bahwa “ring road” adalah jalan lingkar. Yang dalam beberapa literatur disebut bahwa jalan lingkar adalah jalan yang letaknya dipusat kota bisa yang berada di dalam (Inner), tengah atau Middle dan luar (Outer). Fungsinya selain sebagai jalur utama juga dapat mengurai kemacetan jika pada jalur jalur utama didalam kota terisi penuh kendaraan, maka pada jalur ring road dapat menampung lintasan kendaraan dari jalur utama tadi.

Dikota kota besar di Indonesia, ring road sudah banyak dibangun berpuluh-puluh kilometer bahkan bisa menembus berratus kilometer. Mulai dari Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Mataram, Manado, dan kota-kota kecil lainnya di Indonesia. Di Surabaya misalnya pada tahun 2020 ini akan dituntaskan pembangunan Jalan lingkar luar barat (JLLB).

Menurut Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini proyek JLLB dimaksudkan untuk mengurai kemacetan pada kawasan Surabaya Barat dan juga menunjang akses ke kawasan Gelora Bung Tomo yang diusulkan sebagai salah satu lokasi venue piala dunia U 20 pada pertengahan tahun 2021 mendatang.

Selain Surabaya, kota lain yang juga membangun ring road adalah Manado. Sejak tahun 2018 Manado juga fokus pada Pembangunan “MORR-III” (Manado Outer Ring Road) yang menghubungkan Winangun-Malalayang, akan mengurai kemacetan jalan utama yang melintas di ruas Malalayang. Kendaraan yang akan menuju ke arah utara Kota Manado, Bandara Sam Ratulangi, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung, Pelabuhan Bitung, bahkan kawasan pariwisata Likupang, tidak perlu lagi melintasi Malalalayang dan ruas Boulevard karena bisa langsung mengakses “MORR-III” yang akan terkoneksi dengan “MORR-II” dan MORR-I. Proyek MORR III sendiri dibangun dengan nilai 150 milyar dengan panjang jalan 4,4 km.

Kota-kota di Indonesia rupanya tak asing lagi dengan pembangunan ring road. Selain alasan mengurai kemacetan dan menunjang akses pada kawasan dan fasilitas publik strategis. Juga rupanya ring road dipersiapkan untuk menghadapi tumbuh dan berkembangnya suatu kota. Banyak proyek ring road yang telah didesain dan diprogramkan namun mendapat kendala dalam eksekusi dilapangan.

Salah satu masalah krusial yang sering ditemui adalah masalah lahan. Banyak masyarakat yang masih belum rela melepas asset tanah mereka untuk kepentingan pembangunan atau sekedar karena alasan klise yang berkaitan dengan terlampau rendahnya nilai ganti rugi tanah yang dilewati oleh proyek dimaksud.

Jika menghadapi masalah-masalah demikian tinggal bagaimana cara pemerintah bernegosiasi dengan masyarakat. Pendekatannya adalah win win solution. Masyarakat memahami arti penting ring road bagi upaya membangkitkan stimulus ekonomi. Disisi lain pemerintah menyadari bahwa tanpa dukungan masyarakat maka program pemerintah tak akan berjalan mulus dilapangan. Oleh karena itu sinergitas antara masyarakat dan pemerintah sangat dibutuhkan.

Membangun jalan apalagi jika jalannya diperlebar atau ditingkatkan, urusannya tak hanya melulu berkaitan dengan jenis dan type konstruksi yang dipilih, namun juga mengandung korelasi dengan aspek lainnya diantaranya aspek ruang, aspek lingkungan, aspek sosial dan aspek ekonomi. Aspek ruang bertalian dengan struktur dan fungsi ruang dimana jalan akan dibangun, tentunya nantinya jalan yang akan dibangun sesuai dengan konsep yang tertuang dalam RTRW suatu daerah, aspek lingkungan juga berkaitan dengan seberapa luas kawasan hijau yang dialihfungsikan jika pada jenis pembangunan baru atau pada tingkat polusi yang ditimbulkannya.

Aspek sosial menyangkut seberapa besar penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap program tersebut, khususnya apakah terjadi konflik agraria didalamnya pada jalur jalur yang dilewati oleh jalan yang akan dibangun nantinya. Sedangkan aspek ekonomi adalah seberapa besar manfaat jalan yang dibangun memberikan dampak bagi perkembangan ekonomi lokal atau ekonomi masyarakat sekitar. Kompleksitas aspek yang saling berkaitan satu sama lainnya, menjadikan proyek jalan selalu menyita sumber daya dalam pelaksanaanya. Jika kita melihat proyek jalan tol trans Jawa sepanjang 1.167 km, dibangun sejak tahun 1986 baru dapat diselesaikan di era Presiden Jokowi, membutuhkan waktu yang sangat panjang karena begitu kompleksnya masalah yang dihadapi dalam pembangunannya.

Kembali pada “ring road”. Bagaimana dengan pembangunan “ring road” di daerah Kecil misalnya “Ring Road Laworo”. Ring Road Laworo merupakan jalan yang berada di Ibu Kota Kabupaten Muna Barat yang panjangnya 27 km membentang dari wuna-lafinde-maperaha-guali-lakawoghe-kasakamu-wakoila-waturempe-tiworo. Ide dasar pembangunan jalan ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan menyatukan konektivitas tiga kawasan di Muna Barat yaitu Kawasan Lawa Raya, Kawasan Kusambi Raya dan Kawasan Tiworo Raya. Jalan ini sendiri memang mengitari 3 kawasan tersebut.

Jika kita menuju kawasan Kusambi Raya dari kawasan Lawa Raya melewati ring road Lawaro maka pintu masuknya adalah jalur Wuna – Lafinde. Jika kita ingin menuju ke kawasan Tiworo Raya dari kawasan Kusambi Raya maka pintu masuknya adalah jalur Guali – Lakawoghe kemudian mengarah ke Kasakamu dan menerus sepanjang 12, 64 km sampailah di Tiworo. Tiworo adalah nama kelurahan di Kecamatan Tiworo Kepulauan.

Di Kelurahan Tiworo merupakan pusat kerajaan Tiworo masa lalu. Dijazirah Pulau Muna terdapat dua kerajaan besar yakni Kerjaaan Wuna dan Kerajaan Tiworo. Kerajaan Tiworo merupakan kerajaan berdaulat yang menguasai Selat Tiworo yang merupakan jalur vital yang merupakan jalur yang menghubungkan tenggara dan selatan pulau sulawesi dari arah barat. Di Tiworo masih terdapat peninggalan Kerajaan Tiworo berupa benteng.

Menurut sejarah, benteng Tiworo dibangun pada abad XVI oleh Raja Tiworo yaitu La Ode Asmana. Pembuatan benteng ini dari bahan batu yang konon ceritanya diangkat masyarakat dengan cara berjejer sepanjang 150 kilometer.

Di Tiworo Raya melintas jalan nasional Lagadi – Tondasi. Jalan nasional yang awalnya berstatus jalan kabupaten. Sejak 2015 diawal kepemimpinan La Ode M. Rajiun Tumada beralih status menjadi Jalan Nasional. Tentu rasanya tak berlebihan jika kita menaruh apresiasi kepada RT (Rajiun Tumada) yang telah berhasil meyakinkan pemerintah pusat untuk meningkatkan status jalan lagadi tondasi menjadi jalan nasional.

Jalan Lagadi Tondasi merupakan jalan kolektor primer yang menghubungkan dua provinsi. Pintu masuknya adalah Pelabuhan Fery Tondasi yang dibangun sejak Bupati Muna Ir. Ridwan Bae (RB) namun kemudian baru bisa beroperasi kembali diera RT. RT lah yang kembali meyakinkan pihak Kementerian Perhubungan untuk mengoperasikan KM. Bontoharu yang melayani rute Tondasi-Sikeli dan Birra sekali dalam sepekan. Beroperasinya Fery Tondasi tak lepas dari membaiknya kinerja jalan Lagadi Tondasi. Jika masih berstatus jalan kabupaten rute lagadi – tondasi adalah rute yang cukup melelahkan, banyak kubangan, dan kondisi jalannya cukup memprihatinkan.

Namun, saat ini kondisinya sangat baik dengan tipe konstruksi hotmix dengan tebal tak kurang dari 6 cm. Jika kita menggeber kendaraan dari arah Kabupaten Muna mulai dari Pintu Gerbang Muna Barat di Punto ke Tondasi Muna Barat sejauh kurang lebih 25 km seperti berkendaraan dijalan tol tak ada hambatan berarti. Mungkin kita tak akan merasakan goncangan hingga sampai di Pelabuhan Tondasi.

Keberadaan Pelabuhan Tondasi sebagai Pelabuhan antar provinsi ditunjang dengan sistem jaringan jalan Lagadi-Tondasi yang baik, yang terkoneksi dengan jalur ring road Kota Laworo. Jika dari Tondasi ke arah kota Laworo menghabiskan waktu tak cukup lama, rasanya rokok sebatang tak habis diisap. Jalannya mulus sekelas dengan jalan nasional.

Hanya lebarnya yang berbeda, dari arah jalan nasional persisnya Tugu Padi Tiworo kita memasuki titik awal ring road laworo dengan lebar minimal 22 meter, didesain 2 lajur dan diantaranya terdapat lampu jalan. Dibangun 22 meter. Awalnya jalan ini ruang milik jalannya tak lebih dari 7,5 m.

Pada tahun 2015 dimulailah pelebaran jalur eksisting tersebut. Melalui proses dialog dan komunikasi yang baik pada masyarakat, akhirnya masyarakat secara sukarela memberikan lahannya untuk pelebaran jalan. Tak tanggung tanggung disepanjang jalur 27 km, masyarakat dengan ikhlas memundurkan pagar mereka masing masing. Rasa-rasanya keikhlasan masyarakat Muna Barat disepanjang ring road Laworo dalam menghibahkan lahan mereka untuk keperluan jalan sangat sulit ditemui padanannya didaerah manapun di negeri ini.

Ada hal yang rupanya masih dipertahankan oleh masyarakat Muna Barat adalah dukungan mereka terhadap program pemerintah. Disisi lain saat dibangunnya ring road Laworo, Bupati Muna Barat, La Ode M. Rajiun Tumada turun langsung ditengah tengah masyarakat berdialog dan mencari solusi jika ada hal-hal yang menjadi kendala lapangan. Hasilnya tak ada kendala berarti hingga jalan ini selesai dibangun.

Ring Road Laworo sepertinya menjadi master piece Sang Pelopor Pembangunan Muna Barat itu, tak sedikit komentar dari masyarakat yang menyeruak khususnya urgensi ring road Muna Barat dibangun dengan lebar yang cukup fantastis. Namun rupanya bukan Rajiun Tumada namanya jika dia tak kekeh mempertahankan apa yang diyakininya benar. Baginya ring road tak hanya soal prestise sebuah kota, namun sebuah ikhtiar untuk menyiapkan Kota Laworo dalam menghadapi dinamika perkembangannya.

Sering dia berujar “jika jalan kota sempit dan dikiri kanannya telah berdiri bangunan-bangunan permanen, bagaimana harus melebarkan jalan nantinya. Pastilah membutuhkan biaya dan pengorbanan yang tidak sedikit, apalagi jika banyak rumah masyarakat yang kita korbankan akibat proyek tersebut. Ini juga mengusik rasa kemanusiaan saya” menurutnya. Makanya sedari awal ruang milik jalan ditengah kota Laworo harus selebar mungkin untuk jalur tunggal minimal 11 meter. Agar nantinya tak perlu lagi kita berpikir pembebasan lahan jika jalan-jalan tersebut akan dilebarkan.

Ikhwal ring road ini lah yang menunjukkan bahwa sosok Rajiun Tumada merupakan sosok visioner. Spektrum berpikirnya melampaui zamannya. Sebagai pelopor pembangunan Muna Barat beliau tak saja meletakan fondasi pembagunan secara instan. Namun dengan pertimbangan yang sangat kompleks dan strategis. Dia seolah ingin memberikan kemudahan bagi generasi Muna Barat akan datang dalam membangun Muna Barat, dia tak ingin meninggalkan sejarah kelam bagi Muna Barat.

Jalan-jalan yang tak pernah dapat diakses, dibuat agar mudah diakses dari kawasan mana pun. Ring road Muna Barat hari ini juga terkoneksi dengan Bandar Udara Sugi Manuru. Bandar Udara kebanggaan masyarakat yang letaknya di Desa Kusambi Muna Barat. Bandara ini adalah bandara peninggalan Jepang diera revolusi fisik. Setelah La Ode M. Rajiun Tumada menjabat Bupati, bandara ini direvitalisasi dan dimulailah penerbangan pertama oleh maskapai Wings Air yang melayani rute Muna Barat-Makassar pulang – pergi setiap harinya.

Ring road Laworo hari ini telah menjadi icon Muna Barat. Jika mendengar Muna Barat pastilah terbesit pertama kalinya tentang ring road. Ring road menjadi bukti pengabdian seorang Rajiun Tumada di Muna Barat, yang barangkali tanpanya kita tak akan pernah mendapatkan jalan yang selebar dan semulus itu kondisinya. Kita perlu mengapresiasi atas prestasi itu. Tak hanya kepada seorang La Ode M. Rajiun Tumada semata namun juga kepada masyarakat yang tulus ikhlas memberi dukungan untuk program ini. Ring Road adalah wajah Muna Barat.

You cannot copy content of this page