OPINI

RT “Gila” Membangun

588
Surachman ST

Oleh: Surachman ST

Dalam beberapa acara silaturahmi bersama masyarakat, pak RT (Rajiun Tumada) acap kali menyampaikan bahwa ada sebagian persepsi orang-orang tertentu terhadapnya yang menganggapnya sebagai sosok otoriter dan keras terhadap bawahannya.

Stigma otoritarianisme ini sengaja dibangun oleh pihak-pihak tertentu terhadap sosok Rajiun Tumada, untuk memunculkan kesan bahwa Rajiun Tumada adalah sosok yang tak pro demokrasi, sewenang-wenang bahkan anti kritik.

Semua stigma itu muncul untuk mendelegitimasi sisi humanisme sosok RT. Bagaimana mungkin sosok yang tak berjarak dengan rakyatnya, selalu mendapatkan pelukan hangat dari rakyat yang menemuinya dan tak mengenal waktu bersama rakyat, dicap sebagai Otoriter.

Otoriter sebagai gaya kemimpinan dalam iklim demokrasi seperti saat ini tentu tak cocok untuk tumbuh dan berkembang. Bagaimana mungkin kita dapat mencap seorang pemimpin otoriter yang notabene lahir dari produk sistem demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang sesungguhnya. Karena sejatinya, demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Bagi kita style kepemimpinan RT di Jazirah Sulawesi Tenggara, merupakan varian baru yang tak dapat kita lihat kesepadanannya dengan yang pemimpin lain yang kita kenal sebelumnya.

RT berhasil memunculkan gaya kepemimpinan baru yang dapat menjadi role model bagi yang lain. “Saya Tak Otoriter, Tapi Saya Tegas dan Disiplin” begitulah penggalan kalimat yang sering beliau sampaikan untuk mengcounter opini sesat yang dialamatkan kepadanya.

Ungkapan itu sangat beralasan, pasalnya ketegasan dan kedisiplinan itu memang dipraktekkan olehnya dalam menjalankan roda pemerintahan di Muna Barat.

Ketegasan dan disiplin serta adanya punishment bagi yang tak disiplin secara konsisten, dipraktekan bagi seluruh ASN di Muna Barat pada semua level birokrasi.

Namun sebaliknya bagi ASN yang disiplin juga mendapatkan reward berupa tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) yang bervariasi, antara 700 ribu – 1,2 juta sesuai tingkatan masing-masing.

Hal itu menunjukan, bahwa dibalik ketegasan dan kedisiplinan seorang RT terdapat jiwa humanis yang care (peduli) terhadap perbaikan kesejahteraan bawahannya. Ketegasan dan humanisme adalah dua sikap yang sangat penting dimiliki oleh seorang pemimpin besar dan itu menyatu dalam sosok RT.

Memang harus diakui bahwa untuk menghasilkan lompatan-lompatan besar dalam periodeisasi kepimpinan, apalagi pada suatu wilayah yang relatif baru, maka dibutuhkan ketegasan, kedisiplinan, kegesitan dan terobosan dalam membangun.

Kita tentu ingat bagaimana Jakarta ketika itu dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin yang begitu tegas, disiplin bahkan kadang dianggap keras bagi sebagian orang namun berhasil membangun Jakarta. Bahkan sampai saat ini Ali Sadikin lah yang dianggap sebagai Gubernur terbaik sepanjang sejarah.

Belajar dari case Jakarta tersebut, maka sesungguhnya kepemimpinan itu memang harus memiliki ketegasan, kedisiplinan untuk mempercepat pencapaian target-target pembangunan.

Untuk skala Sulawesi Tenggara juga kita tentu masih ingat bagaimana ketegasan dan kedisiplinan serta terobosan yang dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara Almarhum H. La Ode Kaimoeddin dalam menata Kota Kendari sebagai Ibu Kota Sulawesi Tenggara? sehingga saat ini Kota Kendari menjadi kota dengan aksesibilitas yang sangat memadai.

Dalam lintasan sejarah bangsa karakter kepemimpinan dengan ketegasan dan kedisiplinan adalah hal yang tak bisa dipisahkan. Kita justru harus mensyukuri kehadiran sosok pemimpin seperti ini untuk mendobrak kejumudan cara berpikir dan membongkar sikap-sikap yang tak pro terhadap kemajuan yang terbelenggu oleh zona nyaman masing-masing.

Lompatan-lompatan perubahan akan muncul jika kita disiplin dan konsisten terhadap arah pembangunan, apalagi yang berkaitan dengan konsistensi seorang pemimpin dalam mengejar pencapaian visi-misinya sebagaimana tertuang dalam dokumen RPJMD.

Konsistensi tersebut dapat diukur pada sejauh mana upaya gerak pembangunan yang dilakukan dari tahun ke tahun dengan grafik yang mengalami progress positif secara linear. Tidak sebaliknya adanya gerak pembangunan dilakukan hanya di t-1 periode kepemimpinan (tahun terakhir).

Jika hal tersebut terjadi maka dapat dipastikan bahwa yang dilakukan hanya lip service belaka atau upaya me “make up” secara instan, guna mengelabui konstituennya agar dianggap membangun.

Padahal jika dicermati secara rasional konsep membangun sistem kebut semalam ini (SKS), sesungguhnya membuktikan ketidakkonsistenan seorang pemimpin dalam mengejawantahkan janji politik yang tertuang dalam dokumen RPJMD.

Membangun dengan sistem kebut semalam itu lah yang ditolak oleh RT. Baginya konsistensi dalam pembangunan itu harus dimulai sejak awal dan diarahkan pada pencapaian kesejahteraan rakyat.

Makanya tak heran jika dalam kurun waktu 5 tahun (sejak menjadi Pj. Bupati) RT telah berhasil membangun 717 km Jalan Kabupaten dan non status. Suatu pencapaian yang fenomenal untuk ukuran Muna Barat selaku daerah otonom baru. Makanya beliau selalu mengatakan bahwa dia tak otoriter namun tegas dan disiplin serta “Gila”.

Gila ini merujuk pada ke”gila”an beliau dalam membangun Muna Barat, sehingga dapat melesat melampaui daerah seusianya bahkan dapat dikatakan sejajar dengan daerah-daerah yang telah lama berdiri.

Wujud ke”gila”an ini alhamdulillah melahirkan berbagai penghargaan kategori nasional bagi Muna Barat. Oleh karena berbagai prestasi tersebut banyak masyarakat di Jazirah Pulau Muna yang selalu meneriakan kalimat tamintagiko (kami tunggu) mai te liwu mani (untuk datang dan membangun kampung kami) dan Sang “Gila” membangun itu dengan lantang dan tegas mengatakan “Amaimoo pada ini”.
Berjuang dalam satu barisan So Wite Barakati. (Penulis adalah Kordinator media centre pembangunan Mubar)

You cannot copy content of this page

You cannot print contents of this website.
Exit mobile version