Penulis : Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.
Pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD mengenai “Konstitusi bisa dilanggar untuk menyelamatkan rakyat” dalam sebuah seminar daring memantik diskursus publik walau tidak masif. Kemudian, dalam akun twitter pribadinya Mahfud terlihat merespon tweet seseorang yang mempertanyakan pernyataannya tersebut dengan membalas tweet ”yang tidak sungguh-sungguh belajar hukum konstitusi selalu kaget ada statement ‘untuk keselamatan rakyat konstitusi bisa dilanggar’. Tapi itu ada teori dan buku babonnya serta selalu terjadi di dunia. Pelajarilah ide dan fakta konstitusi. Bertahun-tahun saya ngajar itu di banyak kampus. Sepulang kunjungan kerja saya bedah”.
Dalam kesempatan yang berbeda dalam sebuah acara televisi, Mahfud MD menjelaskan pernyataannya secara gamblang mengenai “Konstitusi bisa dilanggar untuk menyelamatkan rakyat” dengan merujuk pada asas hukum salus populi suprema lex (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi), doktrin dari para ahli hukum, serta memberikan fakta historis bahwa hal demikian pernah terjadi baik di dunia maupun di Indonesia.
Secara teoritikal (asas dan doktrin), dalam ilmu hukum memang dikenal dalil salus populi suprema lex yang berarti keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Namun, di sisi lain, juga terdapat dalil hukum yang secara esensial memiliki makna kontradiksi dengan salus populi suprema lex yakni fiat justitia ruat caelum yang artinya hukum harus ditegakkan walau langit runtuh. Namun makna kontradiksi tersebut harus dilihat secara kontekstual dan kondisional.
Salus populi suprema lex pada hakikatnya merupakan asas hukum yang menjadi basis filosofis-teoritis ketika sebuah negara berada dalam kondisi darurat. Dalam kondisi darurat, maka demi keselamatan rakyat, hukum (termasuk konstitusi) bisa dilanggar. Salus populi suprema lex berlandaskan pada nilai proporsionalitas, fungsionalitas, dan oportunitas.
Sedangkan fiat justitia ruat caelum pada hakikatnya merupakan asas hukum yang mengejawantahkan makna entitas kedaulatan hukum (nomokrasi) dan prinsip equality before the law. Maka dari itu, hukum harus ditegakkan (apapun situasi dan kondisinya). Fiat justitia ruat caelum berlandaskan pada nilai imparsialitas, non-kompromi, dan efektivitas.
Secara historis, dalil salus populi suprema lex pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Romawi kuno bernama Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) yang tertuang dalam bukunya De Legibus. Dalil tersebut merupakan hasil kontemplasi Cicero yang membayangkan bahwa dalam kondisi darurat, maka keselamatan rakyat harus menjadi tujuan yang paling utama. Tidak ada hukum yang lebih tinggi selain keselamatan rakyat. Demikian konstruksi pemikiran Cicero mengenai dalil salus populi suprema lex.
Benjamin Straumann dalam buku Crisis and Constitutionalism: Roman Political Though from the Fall of the Republic to the Age of Revolution (2016) menyatakan bahwa prinsip Cicero mengenai salus populi suprema lex secara empirik justru banyak disalahgunakan hanya untuk kepentingan kekuasaan.
Artinya, makna “Keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi” hanya sekadar digunakan sebagai alibi sekaligus basis legitimasi untuk kepentingan kekuasaan dan tujuan-tujuan pragmatis bukan untuk tujuan yang sesungguhnya (keselamatan rakyat). Bahkan dalil tersebut bisa menjadi sarana konstitusionalisasi bagi sesuatu yang awalnya tidak konstitusional. Contohnya adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dilakukan oleh Soekarno. Meskipun awalnya tidak konstitusional, namun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bisa dipertahankan oleh Soekarno dengan basis dukungan rakyat sehingga kondisi demikian pada akhirnya memberikan legitimasi konstitusional.
Maka dari itu, ada beberapa variabel penting yang harus dipahami dalam memaknai esensi asas atau dalil salus populi suprema lex.
Pertama, salus populi suprema lex merupakan wujud fleksibilitas, akomodasi, dan rekognisi terhadap sifat hukum formal yang berkarakter statis dan prosedural. Karakter hukum formal yang statis dan prosedural secara praksis instrumental terkadang mengalami pertentangan dengan kepentingan kolektif (keselamatan rakyat) dalam kondisi darurat. Oleh karena itu, dalam kondisi darurat, demi tujuan yang lebih besar (keselamatan rakyat) maka ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam hukum formal termasuk konstitusi bisa dikesampingkan.
Kedua, penerapan asas salus populi suprema lex harus memperhatikan kondisi dan situasi aktual. Dalam situasi normal, asas salus populi suprema lex bisa menjadi basis nilai dalam pembuatan produk hukum yang harus mengutamakan keselamatan dan kepentingan rakyat. Dalam situasi darurat, asas salus populi suprema lex bisa menjadi basis filosofis-teoritis untuk melakukan pelanggaran atau pengesampingan hukum untuk tujuan yang lebih tinggi yaitu keselamatan rakyat.
Ketiga, ukuran obyektif sekaligus legitimasi dari pada implementasi asas salus populi suprema lex adalah dukungan rakyat secara luas. Pelanggaran atau pengesampingan hukum yang dilakukan atas dalil salus populi suprema lex akan dinilai oleh rakyat apakah memang benar-benar demi keselamatan rakyat atau hanya untuk alibi demi kepentingan pragmatis dan kepentingan kekuasaan semata.