Penulis : Dedy Finafiskar
UNAAHA – Sulawesi Tenggara (Sultra) terdapat beberapa kerajaan yang berjaya sekitar beberapa tahun silam, salah satu diantaranya Kerajaan Konawe. Dimana dalam perjalanan Kerajaan Konawe telah berapa kali berganti raja, dan yang terakhir Sangia Nginoburu yang dikenal sebagai Raja Lakidende merupakan raja terakhir yang memimpin Konawe, sekaligus menjadi raja pertama yang memeluk agama Islam.
Munculnya kerajaan Konawe berawal dari pengelompokkan-pengelompokkan di sebuah kampung, yang saat itu dipimpin oleh seorang yang dihormati dan dituakan, sebagai toono motuo (orang tua) dan dibantu seorang Posudo, Tolea, Mbuowai, Mbusehe, Tamalaki, dan Otudo. Setelah beberapa tahun lamanya atas dasar kesepakatan yang mufakat, maka dibentuklah sebuah wilayah dengan mengangkat seorang raja disebut Mokole. Pada abad ke 10 kerajaan konawe benar-benar terbentuk dan Wekoila ditunjuk sebagai raja pertama.
Kemunculan Wekoila sebagai raja di Kerajaan Konawe pada abad 10 atau sekitar tahun 948-968 Masehi dengan pusat pemerintahan di Inolubu Ngadue atau yang dikenal dengan nama Kecamatan Unaaha, berhasil menggabungkan kerajaan-kerajaan kecil untuk meleburkan diri menjadi satu kerajaan Konawe. Selain itu, Wekoila berhasil membentuk sistem pemerintahan yang teratur dan teroganisir.
Untuk mendukung sistem pemerintahan, Wekoila menunjuk seorang Wati atau pembantu raja dan pejabat-pejabat setempat yang bergelar Toono Motuo berfungsi sebagai pimpinan Masyarakat, Tolea sebagai pejabat yang mengurusi perkawinan, posudo sebagai pertahanan keamanan, dan tamalaki sebagai panglima perang.
Pada masa pemerintahan Raja Wekoila, Masyarakat Konawe diklasifikasi menjadi tiga golongan masyarakat, yakni golongan tertinggi disebut Anakia atau bangsawan, golongan menengah disebut Toono Nggapa atau orang kebanyakan, dan golongan bawah O’ata atau Budak. Untuk mengatur tata hidup pergaulan masyarakat Konawe, Raja Wekoila menetapkan Kalosara sebagai sebagai norma hukum adat, yang diberlakukan kepada tiga golongan masyarakat Konawe.
Dibawah kepemimpinan Raja Wekoila, kerajaan Konawe hanya berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang berlandaskan hukum adat, dan mempersatukan masyarakat berada dibawah satu naungan hukum yang tidak tertulis dengan inti kepatuhan dan ketaatan terhadap raja yang memerintah.
Baca Juga:
- ‘Konawe Gemilang’ Diadopsi Melalui Konsep Leluhur
- ‘Pisah’ atau Tetap Koalisi dengan PBB di Pilkada 2020, PAN Konut Tunggu Perintah DPP
- “Gempur” Siap Bantu Tingkatkan Hasil Panen Padi
- 0,14 Gram Sabu Berhasil Diamankan Polres Wakatobi dari Dua Pria
- 1.179 Pelajar SMP di Konsel Ikuti UNBK 2019
- 1.335 Pelamar CPNS di Bombana Dinyatakan Lulus Admistrasi
Namun setelah masa kepemimpinan Raja wekoila berakhir terjadi kevakuman untuk beberapa waktu lama, dan kerajaan Konawe kembali muncul setelah kehadiran Onggabo (orang besar) yang menyelamatkan wilayah kerajaan Konawe dari kehancuran dan kepunahan akibat penyakit yang menimpah kerajaan Konawe.
Pada abad 17 Kerajaan Konawe kembali berjaya di bawah kepemimpinan Mokole Tebawo (Sangia Inato). Raja Tebawo menerapkan sistem pemerintahan yang dikenal dengan konsep Siwole Mbotahu atau empat wilayah pemerintahan dan pitu Dula Batuno Konawe (tujuh anggota dewan kerajaan) dimana masing-masing anggota Dewan mempunyai wilayah kekuasaan.
Empat wilayah dalam Siwole Mbotahu diantaranya, pada bagian timur ditetapkan seorang pembantu raja dengan gelar Sapati, yang juga merangkap sebagai pimpinan wilayah kerajaan Konawe bagian timur yang disebut Metombi-tombi Nggilo, Mebandera Wulaa, Tambo Ilosoano Oleo, wilayah tersebut berkedudukan di Ranomeeto (Kabupaten Konawe Selatan) dengan pejabat pertamanya adalah Sapati Sorumba.
Pembantu Raja wilayah barat yang berkedudukan di Wawolatoma dengan gelar Sabandara, ini disebut sebagai Toune Napo Wulaa, Ore-ore Mebubu, Tambo Itepuliano Oleo, dengan pejabatnya Sabandara Buburanda. Pembantu Raja wilayah Utara yang bergelar ponggawa disebut Melingge-melinge bara Metuka Ndambosisi, Tambosisi Rurumoro Opua Mepambai Barata I’hana, berkedudukan di Lalonggowuna Kecamatan Tonggauna, pertama kali dijabat Ponggawa Paluwu.
Baca Juga:
- Zikir Bersama Masyarakat Konawe, Diharapkan Menjadi Pengerat Tali Silahturahmi dan Memajukan Konawe
- Yusran Taridala, Litanto, Jumrin Pagala, Hamid Bony dan 20 Takoh Masyarakat Unaaha Lainnya Hadiri Silaturahmi Akbar Paslon Harmin-Dessy di Tuoy
- Wujudkan Visi Misi Pemkab Konawe, Dinas Ketapang Siapkan Tiga Program
Sedangkan Pembantu Raja di wilayah Selatan kerajaan Konawe dengan gelar Inowa yang disebut sebagai Toremba-toremba Nggilo, Toko Wula-wula merembi-rembi Eno Mekalambi Wulaa, Simburu Nggati Nggilo Patirangga Wulaa, Rambaha Monggasono Wuta Konawe Barata I’moeri, biasa disebut gelar Kapita Anamolepo Wuta I’asaki, yang dijabat pertama Kali oleh Taridala yang berkedudukan di Puriala Asaki.
Setelah Mokole Tebawo mangkat, tahta kerajaan dilanjutkan oleh anaknya Mokole Maago untuk memimpin Rakyat Konawe. Pada awal kedudukan Maago sebagai Mokole Konawe, sedikit menimbulkan pertentangan di dalam kerajaan oleh sanak saudaranya yang juga menjabat sebagai pembesar dalam pemerintahan Konawe.
Sehingga, pertentangan tersebut menimbulkan perpecahan. Namun akhirnya dapat didamaikan kembali setelah Dewan Kerajaan dan Dewan Kabinet mengadakan sidang istimewa dengan keputusan untuk tetap mempertahankan keutuhan Wonua Konawe dengan menaklukkan Mokole Lawata dan Mokole Sorumaido yang sangat menentang pelantikan Maago sebagai Mokole Konawe.
Selama memimpin Kerajaan Konawe Mokole Maago memiliki beberapa permaisuri diantaranya Elu Ndotoburi (Sugi Manuru Raja Muna) keturunan Haluoleo di Kerajaan Moronene (saat ini masuk Kabupaten Bombana). Maago mangkat pada abad ke 17 M, dan ia mendapatkan gelar Sangia Mbinauti yang bermakna Dewa yang dipayungi. Setelah Raja Maago mangkat, para pemimpin adat mengadakan musyawarah mengenai siapa yang akan menggantikan kedudukan Mokole Konawe dan hasilnya disepakati kedudukan Mokole Konawe harus diteruskan oleh putra Mokole Maago yang bernama Lakidende.
Namun, saat Lakindede diangkat sebagai Raja Konawe, Lakidende sedang sibuk mendalami pendidikan sebagai Mubaligh Islam di Andolo-Tinanggea, sehingga untuk sementara waktu ditunjuklah Panglima Perang Kerajaan yang disebut Pakandeate untuk menjalankan roda pemerintahan. Untuk menyampaikan hasil kesepakatan ini kepada Putra Mahkota Lakidende, Panglima Pakandeate harus menempuh perjalanan beberapa kali barulah Lakidende bersedia menerima hasil keputusan musyawarah pemimpin adat Konawe.
“Setelah dinobatkan menjadi raja, Lakidende tidak merubah struktur organisasi kerajaan yang telah tertata semenjak pemerintahan kakek dan ayahnya Raja Konawe sebelumnya. Namun ia menambahkan tatanan hukum dan adat dengan tatanan hukum dan adat yang diselaraskan dengan ajaran agama yang dipelajarinya yaitu hukum Islam,” jelas Kadispora Konawe Ujung Lasandara, mengutip Buku Basrin Melamba.
Untuk membantu rakyatnya yang mau beralih dari keyakinan lama mengikuti keyakinan Raja Lakidende, dihadirkanlah Modi, pengajar agama Islam bernama La Ode Teke dari negeri Wolio Buton. Hingga akhirnya negeri Konawe ketika itu dinyatakan sebagai negeri pemeluk Islam dan Raja Lakidende sebagai Raja Islam pertama di Konawe. Tahun demi tahun berlalu dibawah kepemimpinan Raja Lakidende, negeri Konawe berada dalam keadaan aman sentosa yang didampingi Panglima Pakandeate.
Baca Juga:
- ZAZG Polres Kolaka, Kembali Salurkan Bantuan Korban Banjir di Koltim
- Zahra Hotel Terima Penghargaan dari Kantor Bahasa Sultra
- Yusran Silondae akan Kembali Bertarung di Pileg 2019
- Yuk ke Kemangi Cafe and Resto, Makan Kenyang Hati Senang
- YPKKM Desak Pemda Buteng Realisasikan Kompensasi Eks Pengungsi Maluku
- Yonif 725/Woroagi Lakukan Tes Psikologi Bagi Calon Prajurit Raider
Selama menjabat sebagai Raja Konawe, Lakidende memiliki dua orang isteri yaitu Wahaka dan Waalumina, tetapi dari kedua pernikahannya tidak dikarunia keturunan, sehingga tidak ada lagi generasi selanjutnya yang menggantikannya sebagai raja. Pada saat kepemimpinannya Kerajaan Konawe terus berkembang pesat dan rakyatnya makmur, Raja Lakidende mendirikan kerajaan baru yang terbuat dari papan berukir yang disebut Laika Mbinati.
Penobatan Raja Lakidende sebagai Raja sangat mempengaruhi perkembangan agama islam di Konawe, karena beliau telah mendalami dan mempelajari Al Qur’an, maka Lakidende sangat patuh dan taat dalam menjalankan syariat islam. Pada abad ke 18 M, Raja Lakidende wafat dan jenazahnya dikebumikan seperti layaknya pada jenazah umat Islam lainnya, dan karena hal tersebut Raja Lakidende disebut Sangia Ngginoburu yang bermakna Dewa yang dikuburkan.
Hingga kini orang Konawe meyakini bahwa meskipun Raja Lakidende telah meninggalkan Konawe atau berpindah ke alam kubur sejak ratusan tahun lalu, namun masyarakat percaya bahwa Raja Lakidende masih menjaga dan memperhatikan segala gerak langkah manusia yang masih hidup di alam fana ini.
“Sebagai bentuk penghormatan kepada Raja-raja Konawe, saat ini masyarakat Konawe masih memangang teguh nilai kebudayaan serta tetap melestarikan budaya Suku Tolaki yang lahir sejak dulu, salah satunya adat istiadat perkawinan secara islam, dan adat-adat lainnya,” tutur Ujung Lasandara.
Bahkan setiap Hari Ulang Tahun (HUT) Konawe yang diperingati setiap tanggal 3 Maret, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) selalu melakukan ritual Mosehe Wonua” sebegai bentuk untuk membersihkan Kabupaten Konawe dari berbagai malapetaka seperti perzinaan, perkelahian, pertengkaran, dan bencana alam, sehingga hal-hal yang tidak diinginkan dan berbagai musibah tidak terjadi di Konawe.
“Ritual Mosehe Wonua ini merupakan bentuk doa dan harapan kita kepada Allah SWT dan leluhur atau yang orang-orang yang telah berjuang, agar Konawe dan masyarakatnya terhindar dari marabahaya,” terang Bupati Konawe, Kery Saiful Konggoasa, usai mengikuti ritual mosehe Wonua di Makam Raja Lakidende, Minggu (3/3/2019).