Mediakendari.com – Bak bom atom menghancurkan Kota Hiroshima dan Nagasaki. Begitulah kondisi ekonomi dan politik kebangsaan kita hari ini. Persoalan Tenaga Kerja Asing (TKA), hutang negara yang melebihi batas ketentuan UU keuangan, dan dominasi asing atas aset negeri.
Kampanye pembangunan infrastruktur, Pancasila dan nasionalisme dipentaskan secara berlebihan. Hanya untuk pengklaiman, dan pembelahan bangsa secara tajam. Rakyat dipaksa untuk terbelah. Dikotomi pancasila, nasionalisme, dijadikan diskursus negara untuk menciptakan kegaduhan.
Pancasila dan nasionalisme dipertentangkan, padahal cermin kebijakan negara, dan peran negara absen dalam meneguhkan jati diri bangsa. Istitusi politik ‘kebangsaan’ dan kenegaraan dibuat kacau. Rezim ini gagal memberikan kepastian, rasa keadilan, dan optimisme dalam bernegara.
Problem kebangsaan dan kenegaraan datang silih berganti, selalu saja ada banyak alibi, tendensi. Melemahnya rupiah terhadap dolar, negara (Jokowi) merumuskan dan mendendangkan faktor eksternal yang harus dikambing hitamkan. Faktor eksternal yang bercabang-cabang hadir sebagai alasan pembenar melemahnya rupiah terhadap dolar, mulai dari konflik dagang, sampai pada persoalan Ibadah Haji. Begitupun dengan problem Tenaga Kerja Asing yang ditutupi dengan istilah hoax. Padahal itu saya kira faktual.
Mahasiswa Indonesia hadir memberikan respon. Mulai dari penggalangan opini, aksi massa, sidang rakyat, dan literasi. Pergolakan pergerakan mahasiswa tumpah ruah diberbagai daerah. Bahkan diskursus ‘makar’ kembali dipentaskan mahasiswa dengan hastag di sosial media dan slogan aksi massa #RupiahLongsorJokowiLengser.
Persoalan hutang negara yang meroket, anomali TKA, melemahnya rupiah dan dominasi aset negara oleh asing harus diletakan sebagai musuh bersama gerakan mahasiswa. Tidaklah sulit gerakan mahasiswa merumuskan kepentingan bersama dan musuh bersama gerakan.
Dua poin yang mengintegralkan gerakan mahasiswa. Rezim Jokowi ‘musuh bersama’ gerakan mahasiswa dan konstitusional manakala Jokowi di ‘Impeacmen’ oleh sidang rakyat, yang dipentaskan oleh gerakan mahasiswa. Seperti apa yang pernah disejarahkan dalam reformasi 1998.
Refleksi Gerakan Mahasiswa 1998
Kegagapan gerakan mahasiswa 1998 terletak pada peletakan narasi perjuangannya. Mahasiswa kala itu, hanya berani meletakan istilah ‘reformasi’ padahal kondisi bangsa membutuhkan diskursus yang lebih tajam dan totalitas. Diskursus itu lazim disebut ‘Revolusi’. Alhasil, gerakan hanya berefek pada transisi simbol, tidak untuk transisi subtansi.
Gerakan mahasiswa 1998 menunjukan dominasi emosionalisme. Secara sosiologis, ini dapat dipahami karena kebencian yang mengakar pada rezim Soeharto karena kebijakan dan kesengsaraan kolektif terhadap rakyat indonesia kala itu.
Hemat penulis, dua item di atas, harus direfleksikan kembali, untuk gerakan mahasiswa milenial hari-hari ini. Paling tidak, bisa dikonstruksikan sebagai modal gerakan mahasiswa untuk memaksa Jokowi lengser, menjadi Presiden Indonesia.
2018 Rupiah Longsor, Jokowi Lengser
Istilah hastag 2019 Ganti Presiden menurut Ali Mokhtar Ngabalin, iyalah makar terhadap negara. Bagaimana dengan hastag #2018RupiahLongsorJokowiLengser?. Yang dicetus oleh gerakan mahasiswa.
Hari-hari ini kita menyaksikan, walau tidak viral di media nasional, gelombang gerakan mahasiswa diberbagai daerah tumpah ruah. Hari ini juga kita menyaksikan entah dari BEM, KAMMI, HMI, dan IMM membangun konsilidasi dan aksi demonstrasi, yang grand narasinya ‘keprihatinan’ terhadap persoalan bangsa dan negara dibawah rezim Jokowi-JK.
Walaupun gerakannya belum struktural, (terpusat di Jakarta) dengan satu komando pengurus besar, masing-masing organisasi mahasiswa. Minimal kesadaran masing-masing organisasi dilevel daerah, seperti Riau, Makasar, Bima, dan lain-lain, seyogyanya menjadi stimulus. Stimulus untuk internal masing-masing organ, dan daerah lainnya, yang masih belum sempat melihat saudara-saudaranya bertekad menggemakan gerakan perlawanan terhadap rezim ini.
Revolusi Intelektualisme, Mahasiswa ‘Beranikah Revolusi’?
Diskursus Revolusi gerakan mahasiswa jilid II harus mulai diwacanakan secara intelektual. Mahasiswa Indonesia dari berbagai macam organisasi mahasiswa, harus berani menggaungkan revolusi.
Hanya dengan cara itu, jati diri mahasiswa sebagai pengawal literasi kebangsaan dan kenegaraan mendapatkan panggung. Penulis sebut dengan istilah ‘panggung konstitusional’. Absennya Jokowi JK dalam memimpin literasi kebangsaan dan ketenegaraan, membuka ruang ketimpangan diberbagai sistem.
Rezim Jokowi membuka ruang yang lebar untuk hadirnya kemelaratan dan ketimpangan. Kita berharap Jokowi mampu mengaktualkan janji kampanye Pilpres 2014 dan memastikan keberlangsungan politik ekonomi berbasis kerakyatan. Nihil prestasi, yang melimpah justru ketimpangan. Gerakan mahasisw harus menjawab dengan konfigurasi pergerakan, 2018 Rupiah Longsor Jokowi Lengser!!!.
Diberbagai daerah, suara-suara kebenaran berkumandang merdu. Begitupun dengan sidang rakyat, kecaman, dan pandangan aktivis mahasiswanya. Tentu, gelombang gerakan harus menyeluruh dengan seluruh perangkat yang tersedia, mulai dari Ibu Kota sampai pada level Desa.
Makassar tidak boleh kita biarkan berkecamuk sendiri, begitupun saudara-saudara kita di Bima NTB, Riau, Jambi dan lain-lain. Tentu gerakan yang mampu meneguhkan disursus revolusi, iyalah gerakan struktural. Dengan melibatkan seluruh mahasiswa diseluruh medium dan teritorial.
Kebangkitan Gerakan Mahasiswa milenial harus mendapatkan format. Sudah saatnya, buku sejarah mencatat, bukan hanya gerakan 1998 yang dinarasikan, menjadi jargon materi pergerakan mahasiswa, Tapi juga gerakan mahasiswa 2018.
Fenomena ketimpangan rezim Jokowi dan potensi krisis moneter, harus dilawan secara total. Melawan pemimpin yang zholim penulis sebut dengan istilah, meneguhkan pancasila. Itu devinisi sederhana pancasilais dan ekspresi nasionalisme. Mahasiswa lebih paham devinisi pancasila dan nasionalisme daripada rezim ini, sejarah pernah mencatat itu!.
Tentu cengkraman rezim akan menancap pada sistem penggerak, gerakan mahasiswa. Potensi pengalihan issue akan dijalankan secara massif, bahkan penetrasi di media nasional, menjadi ujian. Bahkan kondisi yang paling burukiyalah upaya (potensi) pembelahan gerakan mahasiswa, apalagi menguat dugaan relasi parpol dengan institusi mahasiswa.
Belum seberat, ujian untuk aktivis dan mahasiswa 1998. Walaupun rasio legisnya iyalah ketimpangan diberbagai sistem. Tidak boleh tidak, penyatuan konsentrasi gerakan mahasiswa, jawaban dari kegelapan negeri karena rezim ini. Sekali lagi, Impeachmen Jokowi lewat gerakan mahasiswa. Rupiah Longsor, Jokowi Lengser!