Oleh : Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.
Indonesia adalah negara yang menganut sistem politik demokrasi. Meskipun kata “demokrasi” sendiri tidak pernah tertulis secara eksplisit dalam konstitusi. Entitas sebagai negara demokrasi tertuang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi: “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.
Selain Pasal 1 ayat (2), substansi sebagai negara demokrasi juga terpenuhi dalam konstitusi melalui adanya pemilu berkala yang diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang independen dan imparsial (Pasal 22 E), kemudian yang paling krusial adalah adanya jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dalam rangka kebebasan berserikat dan mengemukakan pendapat (Pasal 28 E).
Dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 juga dapat kita lihat bahwa sistem demokrasi negara kita dipandu berdasarkan UUD yang merupakan hukum dasar dalam bernegara. Selanjutnya menurut Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum”. Berdasarkan konstruksi dua Pasal tersebut dapat kita ejawantahkan bahwa sistem demokrasi negara Indonesia dilaksanakan dan dipandu berdasarkan kedaulatan hukum atau yang sering disebut sebagai nomokrasi.
Konsekuensi logisnya adalah bahwa negara demokrasi kita bukanlah negara demokrasi liberal yang berdasarkan kebebasan absolut rakyat melainkan negara demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan hukum, di mana hukum tampil sebagai landasan fundamental dalam mekanisme pelaksanaan demokrasi. Artinya rakyat dalam melaksanakan aktifitas demokrasi harus mengikuti aturan main dan mekanisme sesuai yang ditetapkan oleh hukum.
Misalnya, mengenai hak kebebasan mengemukakan pendapat yang merupakan hak esensial dari pada entitas demokrasi. Dalam nomokrasi, pelaksanaan dari pada hak kebebasan mengemukakan pendapat itu sendiri dipandu berdasarkan aturan main hukum. Contohnya, saat rakyat ingin menyalurkan aspirasi melalui demo tentu harus mengantongi izin dari pihak keamanan, kemudian dalam mengemukakan pendapat pun rakyat tidak boleh mengandung ujaran yang mengandung pencemaran, fitnah, dan penistaaan. Karena perbuatan tersebut tergolong sebagai tindak pidana yang diatur dalam hukum positif (KUHP). Dari ketentuan tersebut dapat kita lihat bahwa implementasi demokrasi dibatasi sedemikian rupa oleh prinsip nomokrasi yang tujuan utamanya agar terjaga stabilitas bernegara.
Titik Temu Demokrasi dan Nomokrasi
Secara simbiosis mutualistik, demokrasi dan nomokrasi idealnya harus mampu membangun sebuah relasi yang respirokal dan egaliter. Keduanya saling membutuhkan. Ruang dan entitas demokrasi membutuhkan adanya kedaulatan hukum, sebaliknya kedaulatan hukum pun harus dinafasi oleh semangat dan prinsip demokrasi. Hal ini penting karena jika ruang dan entitas demokrasi tidak dikawal berdasarkan kedaulatan hukum, maka yang timbul kemudian adalah chaos dan instabilitas sosial.
Di sisi lain jika kedaulatan hukum tidak dinafasi oleh semangat dan prinsip demokrasi, maka akan timbul sebuah kondisi yang dinamakan oleh Bryan Z Tamanaha sebagai “the thinnner rule of law”. Bryan Z Tamanaha dalam bukunya “On The Rule of Law” memaknai “the thinner rule of law” sebagai sebuah kondisi dimana hukum hanya menjadi alat legitimasi kekuasan penguasa.
Dalam kondisi demikian, hukum hanya akan menjadi tameng untuk membenarkan semua tindakan penguasa. Penguasa akan selalu berlindung pada hukum. Penguasa merasa telah absah bertindak asalkan ada landasan peraturannya tidak perduli apakah perbuatan tersebut patut maupun tidak patut. Cara penguasa yang melegitimasi kekuasaan berdasarkan peraturan hukum yang tidak dilandasi oleh prinsip dan semangat demokrasi (hukum dibuat sesuai keinginan penguasa) pada akhirnya akan mengejawantah sebagai negara hukum otoriter.
Oleh karenanya, pada prinsipnya demokrasi dan nomokrasi (kedaulatan hukum) harus saling bersinergi. Demokrasi harus dipandu berdasarkan rules nomokrasi sebaliknya nomokrasi juga harus dinafasi oleh prinsip dan semangat demokrasi. Jika demokrasi dan kedaulatan hukum dapat bersinergi pada suatu titik temu yang ideal, maka kebebasan sipil dan stabilitas negara akan dapat terakomodasi dalam satu tarikan nafas.