“Tiga bulan pesca pembuatan, jalan aspal Ring Road Laworo, Kabupaten Muna Barat, sudah menjadi kubangan lumpur”
Sekiranya 2015 silam. Kabupaten Muna Barat baru saja dimekarkan sebagai Daerah Otonomi Baru pada tahun sebelumnya, dari Kabupaten Muna. Sibuk terlihat sana-sini, lalu-lalang dengan beribu kepentingan.
Namun begitulah nasib sebuah wilayah hukum baru. Harus bersibuk ria mengurusi segala perlengkapan fisik dan administrasi. Tidak lain, tujuannya agar memudahkan pelayanan dan demi kemajuan masyarakat suatu wilayah.
Disokong dengan anggaran pusat melalui Dana Alokasi Khusus dan Dana Alokasi Umum, sebagai komponen penyusun Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah, roda pemerintahan pun mulai berjalan.
Pemerintahan pada wilayah DOB Muna Barat, secara ekspilisit berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pembentukan Pembentukan Kabupaten Muna Barat, tugas pejabat Bupati adalah membuat rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah, memfasilitasi Pembentukan DPRD, menyusun perangkat kerja daerah, menyelenggarakan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati secara defenitif, serta mengurus aset dan pemidahan dokumen daerah.
Tapi tidak dengan Pemda Mubar. APBD Tahun 2015 yang disahkan melalui Peraturan Bupati Nomor 1 Tahun 2015 (disakhan sebelum DPRD terbentuk), Pemerintah Daerah sudah memasukan beberapa proyek pembangunan fisik yang bukan fasilitas pelayanan utama seperti gedung perkantoran. APBD ini juga cukup misterius pagunya. Karena sulit diakses oleh publik.
Yahh.. Dan disanalah ada nama Ring Road Laworo. Jalan lingkar yang menjadi dambaan masyarakat. Sejumlah media massa mencatat alasan Pemda membangun jalan adalah kebutuhan masyarakat. Doktrin ini akhirnya menutup mata, sehingga masyarakat lupa menanyakan seperti apa rancangan dan dasar hukumnya. Bahkan atas semangat, lahan, pagar dan rumah warga rela tergusur tanpa ganti rugi.
Dikutip dari Publiksatu.com, total anggaran pembanguan Ring Road Laworo mencapai Rp 98 miliar. Sedangkan panjang jalur ini mencapai 43 kilometer. Dua ruas dan masing-masing jalur lebar lebih kurang tiga meter (tahun 2015).
Anggarannya memang terlihat fantastis, dibanding panjang jalan tersebut. Konstruksi aspal hotmix bahkan beton, pastilah melintas di benak pembaca pada sejumlah kolom mendia massa.
Tapi maaf saja. Itu tidak sesuai dengan ekspektasi umum. Tak ada alat berat asphalt finisher di sana, yang sekali jalan langsung rata. Apalagi truck molen. Konstruksi jalannya menggunakan jenis Butur Seal (aspal karungan lokal Sultra). Tidak ada panas-panasnya. Dihampar dengan tangan, lalu diratakan dengan mesin roller. Biasa orang-orang menyebutnya aspal “Tenteng”. Mungkin karena prosesnya sesederhana itu.
Kita lanjut. Fondasinya dibentuk dari kapur lokal pulau Muna. Kalau diperhatikan terlihat bercampur memerah tanah pada serpihan halus batu kapurnya. Tapi dalam catatan resmi Pemda tetap bernama timbunan material pilihan. Entah hipotesis dan perencanaannya dari belahan mana. Banyak kontroversi beraduk disana, mulai dari material kurang cocok. Seperti diungkapkan oleh Wahidin Kusuma Putra, beberapa tahun silam. Bahkan ada tudingan indikasi korupsi.
Sekitar tiga bulan berjalan (awal 2016), aspal ini mulai mengalami masalah. Teksturnya yang sangat tipis, membuatnya cepat mengalami kerusakan. Kerusakannya, sempat masuk dalam catatan Badan Pemerinksa Keuangan tahun anggaran 2015. Namun penyelesaian masalah entah bagaimana, atas imbauan BPK.
Tak hanya menelan APBD 2015, melalui Peraturan Bupati. Pada regulasi penganggaran tahun 2016. Jalur ini kembali dianggarkan sebesar Rp 9,287 miliar (termasuk Guali – Kasakamu yang disebut jalur by pass) dalam pagu. Sedangkan pagu untuk median jalan sebesar Rp 8,077 miliar. Pada fase ini aspal Ring Road dilakukan pelebaran, sekitar satu meter bagian kiri dan kanan dan masih dengan konstruksi butur seal.
Meski menjadi program strategis pemerintah dalam dua tahun. Namun, dua tahun berjalan 75 persen jalur Ring Road Laworo telah menjadi kubangan lumpur. Kerusakan parah tidak terhindarkan. Pada beberapa ruas, tidak menggambarkan jika itu jalan aspal. Sedang warga tak memahami meski hidup dalam tanya.
Kemudian masuk pada fase 2018. Ring Road Laworo kembali dianggarkan dengan pagu yang dipecah menjadi, Wuna-Lafinde : Rp 5,2 miliar. Guali- Lakawoghe : Rp 5,2 miliar. Maperaha-Guali : Rp 5,2 miliar. Lafinde-Maperaha : Rp 5,3 miliar. Wakoila-Waturempe : Rp 7 miliar. Kasakamu-Wakoila : Rp 7,2 miliar. Lakawoghe-Kasakamu : Rp 4,2 miliar. Waturempe-Tiworo : Rp 7,2 miliar. Jika dihitung total mencapai Rp 49,5 miliar. Namun nilai kontrak pada tahun ini sebesar Rp 41 miliar, di kutip dari Inilahsultra.com.
“Tambahan, jalur Hondola – Bungkolo : Rp 5 miliar dan Punto – Hondola : Rp 7,5 miliar.” ada yang tanyakan.
Kembali pada Ring Road Laworo. Entahh.. Sudah berapa anggaran negara yang ditelan oleh jalur ini dalam tiga tahun anggaran. Nanti dihitung. Namun pada tahun 2018 tidak sampai pada proses pengaspalan. Hanya pengerasan sebagai fondasi jalan. Jadi, kalau ada yang ingin mencari barang bukti anggaran pada tahun 2015 pada Ring Road Laworo, itu sedikit sulit. Sudah ditindis timbunan baru. Hehehehe.. Tapi masih ada sisi lain yang bisa dilihat.
Terkait penganggaran Ring Road Laworo, jika merujuk pada asas tata kelola keuangan negara, yang berorintasi pada good governance dengan mode best practices, sejumlah asas tidak terpenuhi, seperti akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas dan proporsionalitas.
Terbilang tidak erefktif, tidak efisien dan tidak ekonomis jika berdasarkan tata kelola keuangan negara yang tertib. Gelontoran-gelontoran anggaran, dapat menjadi gambaran tidak adanya langkah preventif dan represif demi mencapai tata kelola keuangan yang mengedepankan outcome. Dimana satu obyek dianggarkan secara berulang-ulang dalam skala besar pada beberapa tahun anggaran. Output kontruksi juga masih membutuhkan analisis, relevansi anggaran dan hasilnya.
Masih dari Inilahsultra.com, Ring Road Laworo, masih akan terus menelan anggaran hingga 2021. Sebab tahun 2018 dianggarkan hanya untuk elevasi. Sedangkan 2019 akan fokus pada drainase dan pengaspalan akan dituntaskan hingga tahun 2021. Jalur ini masih akan tetap menjadi alasan menumpah uang negara, meski belanja publik-produktif, juga kelaparan demi mengganjot ekonomi. Entah sampai kapan.
Catatan ini tidak bermaksud memojokan pemerintah atau bagaimana. Hanya sekedar me-riview realitas Ring Road Laworo dan sedikit dibanding dengan prinsip pengelolaan keuangan negara.