NEWS

BKKBN Pusat Sebut Banyak Anak dalam Satu Keluarga Penyebab Stunting Tinggi

779
×

BKKBN Pusat Sebut Banyak Anak dalam Satu Keluarga Penyebab Stunting Tinggi

Sebarkan artikel ini
Hasto Wardoyo Kepala BKBBN (Sumber : health.detik.com)

JAKARTA – Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat menilai jumlah anak banyak dalam satu keluarga sebagai penyumbang tingginya angka prevalensi stunting.

Hal tersebut disampaikan Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo, Minggu (05/06/2022) menanggapi viralnya “kampung banyak anak” di Kampung Siderang Legok, Desa Cintanagara, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.

Di kampung yang mayoritas warganya bekerja sebagai petani musiman itu, rata-rata satu keluarga memiliki anak lebih dari 10 orang dari satu pasangan suami-istri.

Baca Juga : Bupati Kolaka Utara Lantik Empat Kepala OPD

“Ini adalah hal persoalan serius yang harus disikapi dan dicarikan jalan keluarnya. Provinsi Jawa Barat memiliki populasi tertinggi di Pulau Jawa dan Jawa Barat juga memiliki prevalensi stunting tinggi dengan angka 24% lebih,” kata Hasto dalam keterangan tertulisnya.

Ia melanjutkan, fenomena kampung banyak anak tersebut memiliki korelasi dengan angka prevalensi stunting di Jawa Barat yang tinggi. “Jawa Barat masuk dalam 12 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi,” sebutnya.

Tingginya prevalensi stunting di Jawa Barat menurut Hasto disebabkan karena jumlah anak yang banyak dalam satu keluarga, rentang waktu kelahiran yang cukup rapat, serta pernikahan dini.

Baca Juga : Bank Mandiri Kunjungi Kantor SMSI Pusat

“Data yang diperoleh BKKBN, selama pandemi Covid-19, pernikahan dini di Jawa Barat jumlahnya mengalami peningkatan. Padahal perkawinan usia dini menyebabkan tingginya risiko kematian ibu dan bayi yang dilahirkan serta bayi yang stunting karena ketidakcukupan nutrisi selama kehamilan,” jelas Hasto.

Menurutnya, stunting adalah kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi, infeksi berulang, dan stimulasi lingkungan yg kurang mendukung. Kondisi ini berefek jangka Panjang hingga lanjut usia. Stunting berdampak sangat buruk bagi masa depan anak-anak.

Berdasarkan pendataan yang dilakukan BKKBN, hingga saat ini satu dari empat balita di Indonesia mengalami stunting. Bahkan ada 21,9 juta keluarga dari 66,4 juta keluarga di Indonesia yang berisiko stunting.

Baca Juga : Wisatawan Diprediksi Membludak Selama Kedatangan Presiden di Wakatobi

Olehnya itu, Hasto mengajak masyarakat untuk membuang jauh pola pikir “banyak anak itu banyak rejeki”. “Kondisi saat ini sangat berbeda dengan dahulu. Sekarang kalau banyak anak maka banyak masalah,” ujarnya dia.

Provinsi Jawa Barat menurut data di BKKBN memiliki TFR (total fertility rate) tertinggi di Indonesia. Karena itu Hasto berharap Pemerintah Provinsi Jawa Barat terus mempertahankan dukungannya terhadap Penyuluh KB non-PNS.

Hasto menjelaskan, masyarakat perlu memperbarui paradigma tentang KB (keluarga berencana). “Masyarakat jangan hanya berpikir kalau KB itu kaitannya dengan alat kontrasepsi. Masyarakat harus berpikir bahwa KB adalah perencanaan keluarga dan juga perencanaan masa depan anak-anak,” jelas Hasto.

Baca Juga : PT TDS Laporkan Penambang Ilegal ke Dirkrimsus Polda Sultra

Menurutnya, banyaknya anak dalam satu keluarga bukanlah merupakan bonus demografi. Masih Hasto, bonus demografi bisa dicapai jika jumlah penduduk yang produktif lebih banyak dibanding jumlah penduduk yang tidak produktif. Bonus demografi itu menghasilkan kesejahteraan.

“Jadi jika dalam satu keluarga punya banyak anak namun yang bekerja hanya satu orang, misalnya, hanya bapaknya saja dan yang lain menjadi tanggungan karena masih kecil-kecil dan belum bisa bekerja maka itu bukanlah bonus demografi. Ini malah malapetaka demografi,” jelasnya.

Lebih jauh Hasto menjelaskan Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 3 tahun 2022 tentang Kampung Keluarga Berkualitas (Kampung KB). Implikasi dari adanya Inpres Kampung KB ini maka akan tercipta unit-unit keluarga yang mandiri, tenteram, dan damai.

Penulis : Redaksi

Facebook : Mediakendari

You cannot copy content of this page