Rabu, 16 Mei 2018 saya berkesempatan melaksanakan shalat tarawih pertama di Bulan Ramadhan 1439 Hijriah di Masjid Al-Alam. Tepat pukul 18:50 WITA saya menjejakkan kaki di masjid tengah Teluk Kendari ini.
Meski belum 100 persen selesai dibangun, mesjid ini sudah kelihatan sangat cantik dengan lampunya yang sangat terang. Apabila kita nongkrong dari lantai 15 Hotel Clarion Kendari, masjid ini begitu indah dipandang. Jalan yang memanjang menuju masjid sungguh elok, kontras dengan pepohonan bakau yang ada di tepi Teluk Kendari.
Di Masjid, saya berjumpa dengan beberapa pejabat eselon II Provinsi Sultra, terlihat pula Plt Bupati Konawe dan Rektor STAIN. Selebihnya masyarakat umum sekitar 1000an jamaah. Mereka semua tenggelam dalam khusyunya shalat tarawih Berjamaah yang untuk pertama kalinya dilaksanakan di Masjid ini.
Pembangunan Masjid ini sepenuhnya ide dari Pak Nur Alam. Seingat saya, Masjid ini dicanangkan sejak periode pertama beliau menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara.
Sempat hanya terlihat tonggak besi beton di tengah laut. Sempat pula menjadi bahan cemooh lawan-lawan politiknya, namun akhirnya pada periode kedua beliau menjabat Gubernur, masjid ini bisa terwujud seperti saat ini. Ketika masih menjadi staf di Bappeda Provinsi Sultra 2008-2010, saya pernah melihat konsep awal masjid ini dan apa yang terbangun saat ini mengalami revisi dari konsep awalnya.
Awalnya akan beberapa kubah yang bisa bergeser seperti Masjid Nabawi di Madinah. Namun dalam sebuah kesempatan, Pak Nasir Andi Baso (mantan kepala Bappeda Provinsi Sultra) menjelaskan bahwa teknologi tersebut belum ada di Indonesia dan masih susah untuk diwujudkan.
Lantai marmer putih di dalam Masjid jelas terinspirasi dari Masjidil Haram di Makkah. Menara masjid sekilas mirip dengan bangunan di Dubai yang terkenal itu. Yang menarik tentu saja pemilihan warna kubah yang beberapa kali mengalami keterlambatan karena perbedaan penafsiran warna kuning telur.
Pak Nur Alam dan beberapa pihak bertemu lalu memecahkan sebuah telur ayam kampung ke dalam sebuah piring putih dan dicarikan warna yang paling mirip dengan warna kuning telur tersebut dan masalah warna terselesaikan.
Terkait menara, pada saat itu ada keinginan dari Pak Nur Alam untuk berkunjung ke Masjid Sultan Ahmed di Istambul, Turki atau yang lebih dikenal dengan Blue Mosque.
Namun rencana itu urung dilaksanakan karena Pak Nur Alam terkait dengan kasus hukum di KPK.
Pemasangan sirine diminta dipasang oleh Pak Nur Alam, supaya bisa terdengar sampai area kota lama jika waktu sholat telah tiba. Dengan meminta bantuan kepada Pak Rudi, kepala bandara Haluoleo kendari, akhirnya ditemukan sirine yang biasa di gunakan di Bandara. Konon sirine ini bisa terdengar sampai area 10 KM.
Masjid ini sudah mulai digunakan untuk sholat Idul Fitri tahun 2017. Sebagai protocol, kami bertugas dengan kawan-kawan dari Biro Umum Setda Prov. Sultra untuk mempersiapkan masjid tersebut agar layak di gunakan. Tim Dinas Cipta karya yang dipimpin Pahri Yamsul bekerja sangat keras mempersiapkan masjid yang pada saat itu belum di pasangi lantai marmer sehingga bisa di gunakan.
Beberapa bahan bangun harus di singkirkan dulu. Hasilnya masjid itu dapat di gunakan untuk sholat idul Fitri. Pada awalnya saya sebagai protocol sempat mengalami rasa was-was karena jam 06.30 masjid ini belumlah ramai. Namun akhirnya sholat ied dilaksanakan pukul 07.30 dan jamaah masjid itu penuh. Ada yang datang menggunakan mobil pribadi, sepeda motor, bus yang disediakan panitia maupun kapal-kapal nelayan yang sudah disiapkan pemerinta Provinsi Sulawesi Tenggara. Sholat dipimpin Bpk KH.Mursyidin, Ketua MUI Sultra. Dalam sholatnya beliau membacakan surah Ar Rahman.
Suara merdu beliau mampu meneteskan air mata beberapa jamaah sholat ied. Bertindak sebagai khatib, Bapak Nur Alam yang memberi ceramah tentang pembangunan dan agama. Pada kesempatan itu pula beliau menepis terkait penamaan Masjid Al alam yang sesungguhnya bukan berasal dari namanya, namun karena masjid ini berada di tengah alam teluk Kendari.
Setelah sholat ied selesai kami berpelukan antar kawan-kawan panitia. Bukan sekedar terharu akan sebuah permintaan maaf, namun ada rasa yang susah dijelaskan pada waktu itu. Kelak rasa itu terjawab dikemudian hari bahwa itulah shalat ied terakhir beliau sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara. Di Sholat Ied Adha pada tahun tersebut, beliau sudah tidak bersama-sama kita lagi.
Meskipun pertama kali digunakan pada saat Idul Fitri tahun 2017, sebenarnya pak Nur Alam seringkali sholat di masjid ini bahkan ketika masih berwujud tiang-tiang penopang bangunan. Beliau seringkali menggunakan masjid ini untuk sholat tahajud. Sholat tahajud beliau lakukan dilantai 3 masjid ini. Anda yang sudah sholat di masjid ini tentu saja bertanya-tanya dimanakah lantai 3 tersebut?, karena masjid ini terlihat hanya 2 lantai.
Lantai 3 tersebut sesungguhnya ada di atap masjid ini. Perlu sangat hati-hati untuk mencapai lantai 3 tersebut karena kita melewati jalan dan tangga seadanya. Jikalau tak hati-hati kita bisa terluka untuk sampai ke atas. Di Lantai 3 lah beliau sholat bersama beberapa sahabat beratapkan bintang-bintang dan langit malam.
Di tengah dinginnya malam mengadukan segala keluh kesah kepada Sang Illahi. Ketika hanya menggenakan baju koko dan larut dalam doa dan zikir diatas sejadah, Gubernur yang terlihat hebat itu terlihat sangat kecil dalam KekuasanNya. Entah berapa banyak tetesan air mata beliau dan entah apa pula yang beliau adukan.
Buat saya, pembangunan Masjid Al Alam memiliki korelasi spiritual dengan sang penggagasnya. Dinding-dinding bangunan masjid terbangun bersamaan dengan tegaknya dinding-dinding keimanan sang penggagas. Guyuran cat dinding masjid hadir bersamaan dengan tetesan air mata sang penggagas mengingat kebesaranNya.
Sungguh indah ketika Allah SWT merengkuh umatNya untuk lebih dekat denganNya. Saya teringat kutipan hadits yang disampaikan Kakanda Hasbi Andi Saing ke saya ketika akan menjalankan ibadah haji tahun 2014 ; ketika seorang umat mendatangiNya dengan berjalan, maka Allah SWT akan mendatangi umatNya dengan berlari.
Hari ini, tepat pukul 20:20 WITA, rangkaian sholat tarawih telah selesai. Masing-masing jamaah masih juga belum beranjak dari tempatnya melaksanakan sholat. Semua masih berdoa, memanjatkan permintaanya kepada Sang Ilahi. Saya pun juga berdoa, antara lain mengirim surah al fatihah untuk almarhum ayahanda tercinta Harli Tombili.
Berdoa untuk Ibunda dan istri tercinta. Berdoa pula untuk almarhumah putri kecilku, Shanaz Aira. Tak lupa saya berdoa buat sang penggagas Masjid al Alam ini, agar engkau secepatnya pulang ke Kendari. Menyentuhkan jidatmu dengan lantai masjid Al Alam ini.
16 Mei 2018
Protokoler Provinsi Sulawesi Tenggara, Belli HT