FEATUREDOPINI

GERMAS, Tanggung jawab Siapa?

690
×

GERMAS, Tanggung jawab Siapa?

Sebarkan artikel ini

Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) telah menjadi program pemerintah, setelah diterbitkannya Inpres No 1 tahun 2017. Sejenak kita melihat kejadian yang sering ada di depan mata kita. Banyak berdiri klinik kesehatan, rumah sakit pun makin marak, begitu juga dengan tenaga medis yag dihasilkan oleh beberapa universitas di negeri ini. Namun, semua itu tak mampu menurunkan angka kesakitan.

Alih-alih ingin menurunkan jumlah pasien yang berobat, malah semakin rumit masalah kesehatan seiring dengan berlakunya SJSN yang digawangi oleh BPJS sebagai penyedianya. Strategi pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat melalui program GERMAS ini memang sangat bagus. Apalagi jika fokus dalam program ini adalah tiga hal, yakni melakukan aktifitas fisik 30 menit perhari, mengonsumsi buah dan sayur, dan memeriksa kesehatan secara rutin.

Pemerintah menargetkan Indonesia Sehat 2020 dengan berbagai program kesehatan. Yang paling utama adalah penanganan penyakit infeksi menular dan penyakit kronis yang angkanya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Seperti yang dilansir di republika.co.id, ada ada empat jenis PTM yang dikategorikan sebagai PTM Utama karena menjadi penyebab kematian terbanyak di Indonesia, yakin kardiovaskular, kanker, diabetes dan penyakit pernapasan kronis. Dari data yang diberikan Kemenkes, Hipertensi menjadi peringkat pertama penyakit tidak menular yang didiagnosa di fasilitas kesehatan, dengan jumlah kasus mencapai 185.857.

Angka ini nyaris 4 kali lipat lebih banyak daripada penyakit diabetes melitus tipe 2 yang ada di peringkat kedua.

Sudah seyogyanya, sebagai manusia yang diberi kemampuan lebih oleh Allah, akan senantiasa menjaganya sebagai karunia terbesar, termasuk akal dan kesehatan. Namun semua itu akan sangat sulit dilakukan jika individunya tidak memiliki kesadaran penuh, tidak adanya kontrol masyarakat dan yang paling penting negara sebagai pemberi perlindungan dan jaminan bagi warganya tidak turut berperan menjalankan semua fungsinya dengan baik dan benar.

Berada dalam sistem yang selalu mengedepankan materi akan semakin menambah panjang deretan persoalan kehidupan. Karena negara hanya bertindak sebagai regulator saja, yang menunggu efek samping dari aturan yang dikeluarkan.

Jika dampaknya buruk dirasakan pemimpin dan pemberi kebjiakan, maka aturanpun diubah, tidak melihat bagaimana dampak kepada rakyat. Sudah seharusnya menjadi kewajiban negara untuk bertindak sebagai pelindung dan pengayom rakyat. Karena kesehatan adalah hak dasar bagi semua warga negara tanpa memandang ras, suku, agama atau golongan.

Saat ini, dengan diserahkannya persoalan kesehatan kepada swasta atau individu justru menunjukkan bahwa pemerintah berlepastangan tentang masalah kesehatan. Apalagi ditambah munculnya undang-undang tentang SJSN yang menyerahkan masalah kesehatan kepada lembaga JKN, yakni BPJS kesehatan. Fungsi promotor, fasilitator dan evaluator diserahkan kepada BPJS kesehatan, yang saat ini makin membuat dilema para tenaga medis untuk memutuskan diagnosa suatu penyakit.

Dalam dunia kesehatan, yang menjadi poin tindakan adalah preventif, promotof, kuratif dan rehabilitatif. Ke empat aspek ini di lapangan,makin tidak berkorelasi satu dengan yang lain. GERMAS yang menjadi program pemerintah akan tidak signifikan berjalan jika diserahkan hanya kepada masyarakat. Karena sejatinya, masyarakat lah yang menjadi objek penerima program pemerintah, bukanlah pelaku. Benar memang, bahwa perilaku hidup sehat harus sudah ditanamkan dan menjadi kebiasaan, tetapi jika tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, maka program ini tidak akan berjalan dengan baik.

Sebagai umat beragama, sudah menjadi sebuah keharusan bahwa tubuh yang sehat akan membawa kepada keberkahan hidup lahir dan batin. Namun, kondisi saat ini, belumlah mendukung semua itu. Lihatlah bagaimana perekonomian sekarang. Masyarakat didorong hidup sehat, berolahraga teratur dan makan sayur mayur yang bergizi, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan primer pangan, sandang dan papan saja masih sulit.

Maka tidaklah salah, jika kesehatan, pendidikan, dan keamanan menjadi nomer kesekian dalam hidup masyarakat saat ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka kemiskinan di Indonesia per Juli 2017 meningkat 6.500 orang, dan menjadikan 10,69% rakyat Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Ya, memenuhi kebutuhan biaya kesehatan dan segala faktor penunjangnya untuk saat ini bukanlah perkara yang mudah, bahkan jauh dari kata prioritas utama.

Tema hidup sehat  dan aspek pembiayaannya menjadi pelengkap deretan persoalan “jamak’ rakyat Indonesia ditengah lesunya pertumbuhan ekonomi, mahalnya biaya pendidikan, iuran asuransi kesehatan, pajak yang mencekik, pencabutan subsidi dan tarif dasar listrik yang melambung tinggi, BBM, Gas LPG dan air bersih mahal, daya beli masyarakat menurun.
Hidup sehat memang butuh biaya, tapi menyerahkan urusan pembiayaannya kepada rakyat juga bukanlah solusi bijak.

Dengan skema pembiayaan premi asuransi kesehatan yang diterapkan, sama halnya mengatakan bahwa pemerintah berlepas tangan dari tanggung jawabnya, sembari memaksa rakyat untuk membiayai sendiri ongkos kesehatannya (meskipun dipermanis dengan embel embel gotong royong). Padahal sebenarnya, jika penguasa serius dan tak salah urus mengelola negeri ini, maka kesejahteraan akan dapat terwujud.

Bukankah Indonesia kaya akan sumber daya alam yang siap kelola? Sayangnya, potensi itu hilang begitu saja karena diserahkan kepada swasta untuk mengelolanya.

Potensi pendapatan negara ratusan trilyun itu, seandainya saja  dikembalikan kepada rakyat dan dikelola negara dengan baik, tentu akan bisa menyelesaikan banyak persoalan rakyat.  Dengan uang sebesar itu, berapa juta rakyat kelaparan bisa mengkonsumsi makanan yang layak? berapa juta rakyat miskin yang tak bisa berobat karena mahalnya biaya bisa mendapat pelayanan kesehatan yang baik? berapa banyak fasilitas kesehatan, rumah sakit, industri farmasi yang bisa dibangun?

Negara sejahtera adalah negara yang mampu memfasilitasi rakyatnya dengan maksimal lagi gratis, merujuk pada defenisi Kesejahteraan yakni  konsep pemerintahan ketika negara mengambil peran penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya. Program Germas yang bersifat fokus pada upaya preventif dinilai sangat tepat dalam menjawab kebutuhan masyarakat dalam mencapai kebutuhan dan kesejahteraan hidup.

Namun diharapkan dapat berkesinambungan bahkan saling berkorelasi dengan negara sebagai pengelola kebutuhan rakyatnya di segala bidang. Dan program ini tidak hanya menjadi program pemanis bibir semata yang hanya sekedar slogan berjalan. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem dan tata aturan yang secara komperehensif mampu menjalankan semua lini dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya kesehatan, tetapi juga ekonomi, pendidikan, keamanan bahkan sosial masyarakatnya. Itu semua hanya ada ketika aturan yang diterapkan adalah sistem Islam. Karena sistem itu berasal dari Pencipta manusia yang memahami hakekat kebutuhan hidup manusia.


Penulis: drg Endartini, Praktisi Kesehatan

You cannot copy content of this page