Opini

Kelas Menengah dan Kuasa Dalam Sistem Pendidikan

495
×

Kelas Menengah dan Kuasa Dalam Sistem Pendidikan

Sebarkan artikel ini
M Sibga, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. (Foto : Istimewa)

Kampus Maroon, begitulah julukan dan sebutan sebuah kampus Universitas Sembilanbelas November (USN) yang berada di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Kampus ini adalah salah satu Universitas Negeri yang memiliki kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Kolaka dan sekitarnya.

Pada tanggal 24 Juni 2022 USN Kolaka dalam Rapat Senat Tertutup telah melakukan giat kontestasi pemilihan rektor baru yang dari sekian proses pemilihannya, menghasilkan Prof. Ruslin Hadanu sebagai pemenang kontestasi dengan perolehan suara senat sebanyak 15 suara dari 21 total suara.

Prof. Ruslin memenangkan porsi suara senat yang mencakup 65% dari total jumlah suara keselurahan meskipun hasil itu belum final karena proses akhir akan berlanjut pada penentuan suara kementrian yang porsi suaranya mencakup 35% dari total jumlah suara keselurahan.

Diketahui, sebelumnya beliau menjabat sebagai Wakil Rektor 1 bidang Akademik USN. Menurut wacana yang berkembang beliau adalah kandidat yang mendapatakan legacy penuh dari rektor USN saat ini yakni Dr. Azhari.

Baca Juga : Pria di Kendari Nekat Gelapkan Motor Tetangga Demi Tebus HP yang Digadai

Dunia kampus adalah sebuah sistem sosial yang berorientasikan oleh nilai-nilai pengetahuan dan keilmuan, di kampus itulah secara ontologis kita terlahir sebagai manusia yang merdeka dan mengaktualkan segala potensi kebebasan dan berfikir kita yang dituangkan dalam bentuk gagasan dan karya ilmiah.

Setidaknya ketika sebuah struktur didalamnya banyak terdapat gagasan (baca:pikiran) secara mutlak kita akan senantiasa mengalami sebuah perubahan di tingkat basis sosial. Akademisi adalah salah satu status sosial yang dimiliki seseorang ketika dia berkecimpung dalam struktur pendidikan khusunya pendidikan tinggi atau Universitas. Dari status dan peran yang dimiliki oleh seorang akademisi menjadikannya sebagai sebuah entitas yang baik dilihat dari perspektif kelas khususnya pada wacana kelas menengah.

Diskursus soal kelas menengah akan selalu menjadi topik pembahasan yang ramai untuk dipikirkan dan diperbincangkan bahkan untuk memberikan sebuah pahaman akan makna kelas menengah itu sendiri. Penulis sendiri memaknai kelas menengah sebagai kelompok masyarakat yang memiliki akses interaksi terhadap struktur sosial berdasarkan kemampuan intelektual dan materilnya sehingga dapat menghasilkan sebuah dinamika interaksi dan perubahan pada lingkungannya. Berbagai perspektif dan spekulasi muncul untuk membangun struktur pikir dan konsep kelas menengah. Secara umum wacana kelas menengah dikategorisasikan oleh dua perspektif teori, yakni melihat pada kondisi material ekonomi yang menggambarkan realitas masyarakat yang ada (Marxian) dan perspektif teori yang menganalisis bangunan struktur sosial individu dan masyarakat (Weberian).

Baca Juga : Masyarakat Kendari Antusias Menunggu Ustadz Abdul Somad

Kekuatan intelektual oleh seorang akademisi di dalam kampus terkadang tidak sebanding lurus dengan basis kekuatan ekonominya sebagai seorang staf tenaga ajar atau dosen. Hal ini adalah hal yang sangat wajar yang terjadi di masyarakat kita karena status ekonomi bukanlah hal yang menjadi penentu untuk masuk dalam sistem pendidikan dan syarat mutlak untuk menjadi seorang akademisi karena yang menjadi tolak ukur utama adalah sejauh mana seseorang dapat mengaktualkan potensi pikirnya dan mentransformasikan pengetahuan serta mendistribusikan pengetahuannya dengan baik. Di sisi lain realitas ekonomi menjadi penentu gerak aktifitas seorang akademisi dalam dunia kampus untuk menjalankan kegiatannya dikarenakan sedikit atau banyaknya seorang akademisi/dosen bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar sehari-hari dalam artian pekerjaan dan rutinitas yang ada dikerjakan untuk sebuah capaian profit yang mapan dalam bentuk remunerasi/gaji. Alih-alih ingin mengaktualkan sebuah nilai karena sistem pendidikan tinggi itu sendiri diatur oleh kaidah-kaidah Tri Darma perguruan tinggi yakni Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian.

Jika kita kembali menyimak pembahasan sebelumnya tentang sebagaimana mestinya seorang akademisi bekerja hal tersebut telah terjadi pergeseran orientasi yang tadinya untuk aktualisasi nilai berubah menjadi orientasi profit.. Jika kita bertanya apakah hal itu salah? Agak sulit jika dikatakan itu salah melainkan sebuah kondisi paradoksal yang terjadi di dalam dunia akademisi/kampus.

Itulah salah satu sampel dalam realitas kelas menengah pada seorang akademisi yang dimana mau atau tidak seseorang akan bertindak sesuai dengan sistem yang mengaturnya. Bertautan dengan sistem sosial di dalam kampus seorang akademisi/dosen tentu saja akan tunduk dan patuh terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pimpinan universitas jika tidak maka sanksi akan didapatkan. Hal ini juga melahirkan sebuah kondisi politik kampus yang menghasilkan Patronase terhadap anggota masyarakat yang ada di dalam kampus. Kembali lagi kita bertanya apakah hal tersebut salah? Tentu kita tidak serta merta dapat langsung mengatakan itu salah karena sistem pendidikan tinggi kita telah diatur sedemikian rupa oleh pemerintah dan ini adalah imbas dari program pembangunan pendidikan yang di negara kita yang secara rigid di atur dalam Undang-undang No.12 tahun 2012.

Baca Juga : Ketua DPW Partai Perindo Sultra Tegaskan Siap Hadapi Verifikasi KPU

Dari kondisi politik kampus yang demikian melahirkan sebuah budaya politik yang penulis dikatakan sebagai budaya politik madeppe’-deppe’. Istilah tersebut dimaknai sebagai kondisi seseorang yang diharuskan menjalin komunikasi yang baik dan selalu menjaga nama baik serta kehormatan seseorang yang menjadi penguasa (baca:pimpinan) dan tidak membuat tindakan-tindakan yang dapat merusak citra baik secara personal maupun kelembagaan. Kondisi budaya politik madeppe’-deppe’ dalam kampus ini menjadikan seorang akademisi/dosen untuk mencari sebuah keuntungan politik dari seorang pimpinan contoh halnya seperti untuk mendapatkan promosi, rekomendasi, dan dukungan jabatan struktur tertentu dalam kampus serta mendapatkan keuntungan dan pembahan profit yang lain. Dan puncak dinamika itu terjadi ketika masuk dalam kontestasi pemilihan pimpinan universitas karena termasuk halnya seperti lembaga struktur masyarakat yang lain, kampus/universitas terdapat proses politik demokrasi dalam hal pergantian pimpinan (baca:rektor) yang telah di atur dalam Peraturan Menteri RISTEKDIKTI nomor 19 tahun 2017 yang menandakan iklim demokrasi harus dapat pula terjadi dalam dunia kampus. Ada kondisi simbiosis mutualis yang terbangun ketika kegiatan tersebut berjalan antara akademisi sebagai civitas akademika yang memiliki bargaining dalam kontestasi politik kampus dengan individu yang hendak untuk berkuasa dalam dunia kampus sebagai seorang pimpinan/rektor. Dari kondisi ini seorang akademisi/dosen akan masuk dalam pusaran ekonomi politik yang akan mengakibatkan terjadi alienasi oleh dirinya terhadap status dan pekerjaannya sebagai seorang akademisi/dosen. Kondisi demikian yang harusnya kampus menjadi tempat Civitas Akademika yang dimana segala entitas yang ada bertujuan untuk menghasilkan sebuah iklim penidikan yang sesuai dengan nilai-nilai pendidikan, yang ada kini berubah menjadi Civitas Politika yang menjadikan kampus sebagai arena kontestasi politik melalui praktik perebutan kekuasaan dan kepentingan yang sudah tidak ada bedanya dengan arena kontestasi partai politik.

Dari kondisi yang terjadi di dunia kampus memang tidak secara keseluruhan tindakan-tindakan seorang akademisi seperti demikian, ada juga segelintir individu yang masih mencoba dan tetap bertahan pada kondisi ideal sebagaimana mestinya seorang akademisi/dosen untuk bertindak tapi apakah itu akan menjadi hal yang mapan sebagai tindakannya? sampai kapan kondisi ideal itu akan bertahan sementara para akademisi akan selalu dihantui oleh kegelisahan akan tuntutan sosial ekonomi.

Sebagai tindakan alternatif tidak ada salahnya jika idealisme pendidikan tetap hidup dalam dinamika dunia kampus bahkan itulah yang menjadi tanggung jawab moral bersama untuk tetap menjaga khittah pendidikan itu sendiri. Terlebih dalam pendidikan tingkat kampus/universitas menjadi tempat yang merdeka untuk berfikir dan bertindak yang diharapkan peserta didiknya akan mampu menghasilkan gagasan yang cemerlang untuk membawa perubahan dan perkembangan pada kondisi budaya masyarakat berkemajuan yang lebih luas. Untuk kondisi terhadap individu yang ada di masyarakat kampus diperlukan kemantapan intelektual agar tepat dalam bertindak. Ego-ego individual yang harus berganti pada ego universal sehingga nilai-nilai yang telah kita serap, kembali dapat kita aktualkan dalam jaringan interaksi sosial. Kondisi materil akan sangat mempengaruhi tindakan individual akan tetapi jika dibarengi dengan orientasi nilai-nilai kebaikan universal niscaya itu akan membawa pada sebuah perkembangan yang baik.

Penulis : M. Sibga
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

You cannot copy content of this page