Reporter: Pendi
Editor: La Ode Adnan Irham
LASUSUA – Pengadilan Agama identik dengan kasus perceraian, meski memang itu urusannya, namun banyak kewenangan lain yang masyarakat belum tahu. Hal itu diungkapkan Humas Pengadilan Agama (PA) Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara, A Yusri Patawari.
“Yang kebanyakan masyarakat tahu kan tentang perceraian, olehnya itu datang ke kantor Pengadilan Agama untuk menyakan ketika ada suatu perkara,” katanya saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (17/12/2019).
Kewenangan Pengadilan Agama sendiri berdasarkan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni, perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.
Selain tugas pokok itu, PA juga punya fungsi mengadili, fungsi pembinaan, fungsi pengawasan, fungsi nasehat serta fungsi administratif.
Soal perkara yang masuk selama 2019, ada 317, 177 diantaranya perkara perceraian. Dari jumlah itu, 161 sudah diterbitkan akta cerai, sedangkan 16 perkara dapat dimediasi dan kembali rukun.
Baca juga :
- Dinas Pariwisata Sultra Terbaik Soal Keterbukaan Informasi Publik
- Wakil Ketua Komisi V DPR RI Bersama Direktur Bendungan dan Danau Kementrian PUPR Kunjungi Lokasi Bendungan Pelisika
- KPU Muna Barat Sukses Raih Penghargaan Peringkat I Terkait Pengelolaan Pelaporan Dana Kampanye
Perkara lain yakni pencatatan nikah, izin dispensasi nikah bagi calon mempelai dibawah umur 19 tahun, penetapan ahli waris serta permohonan itsbat nikah.
Dikutip dari website Mahkamah Agung, Staf khusus Ditjen Badan Peradilan Agama (Badilag), Rahmat Arijaya menyebut, para hakim peradilan agama tidak menerima reward bila berhasil menceraikan banyak pasangan suami-istri.
Justru, para hakim akan bahagia apabila berhasil membuat suami-istri yang datang ke pengadilan agama, membatalkan niat bercerai.
Yang perlu diingat, berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan masyarakat. Karena itu, pengadilan agama pun, tidak boleh menolak perkara perceraian apabila ada masyarakat yang mengajukan.
Di Indonesia, tandas Rahmat Arijaya, tidak berlaku kesepakatan cerai. Setiap perceraian harus melalui peradilan agama, sebagaimana ketentuan dalam UU 1/1974 dan PP 9/1975.
Para hakim peradilan agama juga tidak akan langsung mengetok palu untuk menceraikan suami-istri, tetapi harus meneliti apakah syarat-syarat perceraian terpenuhi atau tidak.
Selain itu, yang tidak boleh diabaikan, suami-istri yang hendak bercerai harus menjalani proses mediasi, sebelum pokok perkara diperiksa majelis hakim. Bila mediasi tidak dilakukan, maka putusan yang dibuat majelis hakim akan batal demi hukum.
“Pengadilan bekerja keras untuk menyelamatkan keutuhan keluarga dan sering berhasil. Penting dicatat bahwa dalam proses persidangan, hakim dituntut selalu mendamaikan pasangan dengan memberikan nasihat kepada mereka,” ujar Rahmat. (B)