JAKARTA, MEDIAKENDARI.COM – Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, nampaknya menuai banyak kritikan, mulai dari masyarakat hingga Partai Politik, salah satunya adalah Partai Demokrat yang sangat tidak setuju dengan kenaikan BBM.
Namun pendapat partai tersebut, malah mendapatkan kritikan dari partai PDIP. Di lansiran dari CNN.Indonesia.com. Anggota DPR dari fraksi PDIP Adian Napitupulu, meminta kader Partai Demokrat belajar matematika, dan sejarah lebih dahulu sebelum mengkritik kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Menurutnya, kader Partai Demokrat perlu belajar matematika dan sejarah agar bisa membuat perbandingan yang logis.
“Saya menyarankan agar kader Demokrat untuk bisa belajar matematika dan belajar sejarah, sehingga jika membandingkan maka perbandingan itu logis tidak anti logika dan ahistoris,” kata Adian Rabu (7/9).
Baca Juga : Kecamatan Anggotoa Kembali Ke Induk, Ini Sebabnya
Ia mengatakan, kenaikan harga BBM di era Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih banyak dibandingkan kenaikan harga BBM di era Presiden Joko Widodo.
“Di era SBY total kenaikan harga BBM [jenis] Premium Rp4.690, sementara di era Jokowi total kenaikan BBM jenis Premium atau Pertalite Rp3.500. Jadi SBY menaikkan BBM lebih mahal Rp1.190 dari Jokowi,” ucap Adian.
Dia pun menyampaikan, bahwa terdapat selisih kemampuan upah membeli BBM yang terjadi di era SBY dan Jokowi sebesar 126 liter. Menurut Adian, upah pekerja setiap bulan di era Jokowi senilai dengan 464 liter BBM.
“Di era SBY upah minimum, contoh DKI Rp2,2 juta untuk 2013. Dengan BBM harga Rp6.500 per liter maka upah satu bulan hanya dapat 338 liter perbulan. Sedangkan di era Jokowi hari ini BBM Rp10 ribu, tapi upah minimum Rp4.641.000 per bulan,” jelasnya.
Dia juga berkata, ‘mafia’ yang terorganisir dan masif masih ada di era SBY, yakni Petral yang embrionya sudah ada sejak awal Orde Baru tepatnya 1969 dan beroperasi mulai 1971. Petral, lanjutnya, dibubarkan pada 2015, atau hanya enam bulan setelah Jokowi dilantik menjadi Presiden RI.
Baca Juga : Penurunan Angka Stunting, Jadi Perioritas Pemkab Konawe
Dirinya menyebut, pembangunan jalan tol sebagai salah satu infrastruktur penting dalam aktivitas ekonomi di era SBY hanya mampu membangun 193 kilometer (km). Hal itu berbeda jauh dengan yang terjadi di era Jokowi, di mana jalan tol yang dibangun sepanjang 1.900 km.
“Kalau mau dihitung lebih detail lagi dari jalan tol, jalan nasional non tol, jalan provinsi, jalan kabupaten hingga jalan desa sepanjang 304.490 km. Maka, setiap detik Jokowi membangun tidak kurang dari 1,5 meter jalan kali lebar yang berbeda-beda,” ucapnya.
Dari berbagai perbandingan tersebut, Adian menyatakan era SBY merupakan era kesedihan bagi semua orang, kecuali penguasa kala itu. Sebagai informasi, Demokrat merupakan salah satu parpol yang menolak dengan tegas kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi.
Beberapa kader partai berlambang mercy, itu yang bersuara menolak kenaikan BBM antara lain Wasekjen DPP Partai Demokrat, Irwan serta Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Andi Arief.
Baca Juga : 336 Desa di Konsel Telah Cairkan Dana Desa Tahap Dua
Irwan berkata, Jokowi sudah mengabaikan suara rakyat dengan menaikkan harga BBM bersubsidi jenis Solar hingga Pertalite. Dia memandang kebijakan ini memperlihatkan ketidakpedulian pemerintah terhadap penderitaan yang dialami masyarakat.
“Kenaikan BBM ini adalah bentuk abai dan tidak peduli pemerintah terhadap derita dan kesusahan rakyat saat ini,” kata Irwan.
Sementara itu, Andi menilai Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi sudah melewati batas dan bertolak belakang dengan tujuan menyejahterakan masyarakat Indonesia.
“Saya kira ini pemerintah sudah melewati batas, cross the line. Ya kita tidak tahu, ini apa yang akan menjadi respons rakyat. Kalau partai Demokrat sudah menolak ini semua,” pungkasnya.
Penulis : Muhammad Ilwanto
Facebook : Mediakendari