INDONESIA – Laporan Organisasi Untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang dikeluarkan hari Jumat (8/3) menempatkan Swiss, yang selama ini mempromosikan kesetaraan di rumah dan di tempat kerja, sebagai negara terbaik untuk hak-hak perempuan.
Menurut indeks yang menyusun peringkat 120 negara dalam menangani diskriminasi terhadap perempuan lewat undang-undang dan reformasi politik; Denmark, Swedia, Perancis dan Portugal adalah negara dengan kinerja terbaik berikutnya setelah Swiss.
Sementara Guinea, Yordania, Iran, Pakistan dan Yaman berada di peringat terbawah indeks yang dikeluarkan OECD untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret.
Diskriminasi berbasis gender, termasuk sunat perempuan, hak reproduksi, kesenjangan upah dan kekerasan seksual; diperkirakan menimbulkan kerugian hingga enam triliun dolar atau berarti 0,75% ekonomi dunia.
Baca Juga :
- World Water Forum ke-10 Sejalan dengan Kearifan Lokal Bali
- Pj Bupati Harmin Ramba Dianugerahi International Certificate of Excellence and Recognition
- Sukses Selenggarakan Pemilu 2024, PPLN Istanbul Gunakan Tiga Metode
- Pemprov Sultra Ekspor Perdana Biji Pinang, Pj Gubernur : Luar Biasa
- Ketum SMSI Ucapkan Selamat untuk Presiden Taiwan Terpilih
- AS Setujui Paket Stimulus Ekonomi, Bursa Saham Global Girang
OECD menilai Swiss memiliki skor diskriminasi “sangat rendah” yaitu 8,1 dari 100 – berkat undang-undang dan norma sosial yang kuat dan mengedepankan isu-isu itu. Sementara Yaman memiliki skor diskriminasi “sangat tinggi” yaitu 64 dari 100 – karena norma gender yang sangat ketat, yang membatasi kebebasan, akses keuangan dan keadilan bagi perempuan korban perkosaan dan tindak kekerasan lainnya.
“Meskipun ada kesadaran global bahwa kesetaraan perempuan merupakan prioritas penting, upaya untuk memperkecil kesenjangan antar gender sangat lambat, dan di beberapa negara lain kesenjangan ini justru semakin lebar,” ujar Kepala Staf OECD Gabriela Ramos, dalam pernyataan tertulisnya.
Kesenjangan upah antar gender saat ini mencapai 13,6% di negara-negara berkembang.
Laporan itu juga melaporkan bahwa perempuan menduduki kurang dari seperempat kursi parlemen di seluduh dunia.
“Kita perlu melakukan lebih banyak hal dan lebih baik lagi. Kita harus lebih cerdas dalam merancang dan melaksanakan kebijakan, dan dimintai pertanggungjawaban atas hasilnya. Jika tidak maka akan dibutuhkan 200 tahun lagi untuk mencapai kesetaraan gender,” tambahnya.
Namun demikian laporan itu juga menyampaikan sejumlah kemajuan.
Meskipun satu dari tiga perempuan di dunia masih mengalami kekerasan dalam rumah tangga KDRT, hal itu sudah semakin sulit diterima secara sosial.
Proporsi perempuan yang mengatakan KDRT bisa diterima sudah turun dari 50% pada tahun 2012, menjadi 27% pada tahun 2018.
Cuti hamil yang dibayar juga kini dijamin di semua negara, kecuali Papua Nugini dan Amerika. (em)