Halaman 2
Padahal, dalam RAT menjelaskan apabila ketua umum KONI Kabupaten/kota dan ketua umum cabor provinsi berhalangan hadir dapat didelegasikan kepada sekretaris umum dan juga bisa bertanda tangan.
“Dalam RAT itu dijelaskan bisa sekretaris umum yang bertanda tangan jika ketua umum berhalangan hadir. Tidak ada tambahan klausul ketua harian/unsur wakil ketua juga bisa bertanda tangan seperti dalam surat Tim TPP. Jadi memang ditambahkan klausulnya oleh Tim TPP,” katanya.
“Akibat tambahan klausul yang ditetapkan tim TPP, kami sebagai calon, mulai dari pendaftaran hingga saat ini tidak memperoleh tanda tangan dukungan ketua /ketua harian dan wakil ketua sehingga surat dukungan kami dianggap tidak sah dijadikan syarat pencalonan,” imbuhnya.
BACA JUGA: Agista Ariany Ali Mazi Dipastikan Ikut Tarung di Pemilihan Ketua KONI Sultra
Kemudian, keganjilan lain adalah soal hak suara dalam pemilihan Ketua KONI Sultra yang dipisahkan dari unsur KONI 17 Kabupaten/Kota dan suara cabor.
Dalam keputusan yang dianggap sah, tim TPP mensyaratkan agar calon ketua KONI harus mendapat dukungan 30 persen atau sama halnya harus mendapat 6 dukungan dari 17 KONI Kabupaten/kota yang ada. Dan juga disyaratkan harus mendapat dukungan 30 persen atau 12 dukungan dari 37 cabor yang ada.
“Kenapa tidak disamakan saja hak suaranya. Mengapa meski dipisah soal suara dukungan. Jadi kita disyaratkan dapat 30 persen dukungan dari KONI Kabupaten/Kota dan dapat dukungan 30 persen dari cabor yang ada. Oleh TPP dianggap tidak sah, kalau kita dapat dukungan 30 persen hanya dari cabor saja. Jadi harus dapat juga dukungan 30 persen dari KONI Kabupaten/kota. Kenapa tidak digabung saja,” katanya.
Ahmad Wahab bilang, dengan keganjilan yang ada dalam persyaratan pencalonan ketua KONI Sultra. Patut diduga, kata dia, proses penjaringan dan penyaringan calon ketua KONI diinterfensi dan disusun secara terstruktur, sistematif dan masif untuk memudahkan salah satu calon ketua.
Selain itu, Ahmad Wahab juga menyoroti soal salah satu calon Ketua KONI Sultra, yaitu istri Gubernur Sultra, Ali Mazi, Agista Ariany. Dia meminta, agar Tim TPP tidak meloloskan atau mendiskualifikasi calon tersebut.
Pasalnya, menurut Ahmad, calon ketua KONI, Agista sebagai istri dari Gubernur Sultra, ketua TP – PKK, dan juga ketua Deskranasda tidak memenuhi klausul ‘mandiri’ sesuai sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2005 Pasal 40, yang menjelaskan bahwa pengurus KONI Pusat dan KONI Provinsi, atau KONI Kabupaten/kota bersifat mandiri, tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik.
“Yang dimaksut ‘mandiri’ dalan pasal 40 itu adalah agar KONI bebas dari pengaruh dan intervensi dari pihak manapun untuk menjaga netralitas dan menjamin keprofesionalan pengelolaan olah raga. Kita lihat, ada salah satu calon memiliki keterkaitan dengan jabatan publik atau jabatan struktural. Tentu, hal itu sudah tidak sesuai amanah undang – undang tentang KONI,” pungkasnya.
Sementara itu, Sekretaris TPP Calon Ketua KONI Sultra, Zuumi Kudus, saat dikonfirmasi wartawan mengatakan belum bisa menjawab keberatan yang dilayangkan Ahmad Wahab. Kata dia, ada beberapa alasan TPP belum mau menanggapi beberapa tudingan itu.
“Surat (Keberatan Ahmad Wahab) tidak ditujukan kepada Tim TPP. Kedua, Tim TPP belum selesai memfalidasi dan memferifikasi surat dukungan dan belum menetapkan secara resmi calon Ketua Umum KONI. Dan ketiga, surat tidak ditandatangani oleh yang keberatan,” jelas Zuumi saat dikonfirmasi melalui whatsaap Senin (23/9/2019).
Zuumi bilang, jika Ahmad Wahab merasa keberatan, itu silahkan dan merupakan haknya. Tapi, kata dia, tidak ada subtansi nota keberataan itu karena seluruh syarat dan persyaratan sudah dibahas melalui RAT.
Hingga berita ini dipublis, awak media ini sudah mencoba menghubungi calon ketua KONI, Agista Ariani, untuk meminta konfirmasi terkait protes dan permintaan Ahmad Wahab agar Agista tak diloloskan jadi calon ketua KONI.
Namun sayang, Agista tak merespon dan hanya membaca pesan yang dikirim.