BAUBAU – Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan salah satu daerah yang memiliki sejumlah warisan budaya diantaranya bahasa Wolio.
Di era Kesultanan Buton, Kota Baubau merupakan wilayah pusat Kesultanan. Bahasa wolio merupakan bahasa pemersatu seluruh daerah cakupan Kesultanan Buton.
Rupanya, seiring berjalan waktu dan perkembangan zaman, bahasa pemersatu di zaman Kesultanan Buton itu semakin sedikit yang menggunakan. Bahasa Wolio termasuk dalam kategori bahasa yang terancam punah.
Ketua Komisi III DPRD Kota Baubau, Muhammad Ahadyat Zamani menilai punahnya bahasa suatu daerah sama artinya dengan kehilangan warisan budaya yang sangat berharga. Sebagai salah satu wakil rakyat di Kota Baubau, dirinya bersama DPRD Baubau menggunakan hak inisiatif mengajukan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Wolio untuk menunjukan tanggung jawab moral sebagai bagian dari generasi masa kini.
Baca Juga : Masing-masing Anggota DPRD Konawe Punya Ruangan Sendiri, Ardin : Semoga Fungsi Dewan Berjalan
Ia mengatakan raperda ini sekaligus sebagai langkah pasti dan upaya afirmatif menyelematkan warisan budaya bernilai tinggi.
“Para orang tua dan anak-anak kita masih menggunakan Bahasa Wolio tapi tinggal sedikit jumlahnya. Ini menunjukkan masyarakat Kota Baubau masuk kategori tidak mempertahankan bahasa wolio hasil penelitian Kamaluddin dan kawan-kawan,” ungkap Muhammad Ahadyat Zamani pidato pengantar Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Wolio, Senin 07 Maret 2022.
Politisi NasDem itu menjelaskan hasil penelitian dimaksud sejalan dengan pemetaan Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menganggap bahasa Wolio termasuk dalam 16 bahasa daerah yang masuk kategori rentan stabil terancam punah.
Ia menerangkan bahasa Wolio di masa Kesultanan Buton memiliki fungsi seperti bahasa Indonesia saat ini yang dipakai sebagai bahasa masyarakat secara umumnya kendati masyarakat Buton memiliki bahasa yang beragam.
Ahadiyat membeberkan sejak dahulu bahasa Wolio telah menjadi salah satu bukti peradaban di Buton telah tinggi karena mempunyai keistimewaan dilengkapi tradisi tulis aksara yang melahirkan karya-karya ilmiah dan sastra baik lisan maupun tertulis.
Baca Juga : DPRD Konawe Apresiasi Capaian PDRB Saat Perayaan HUT ke-62
“Dalam komunikasi sehari-hari kalah saing dengan bahasa Indonesia dan huruf latin. Belum lagi untuk kepentingan pendidikan dan ekonomi bahasa asing yang digunakan. Kemudian posisi strategis Kota Baubau sebagai tempat pertemuan arus barang dan manusia, penghubung wilayah Indonesia bagian timur serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi ini mengancam keberlangsungan bahasa, sastra, dan aksara Wolio,” urainya.
Mantan perangkat Masjid Agung Keraton yang dalam bahasa Wolio disebut Moji itu merasa khawatir apabila tidak ada intervensi kebijakan bersifat afirmatif, bahasa Wolio akan benar-benar mengalami kepunahan. Olehnya itu, melalui Raperda dimaksud pihaknya berupaya untuk memperkuat dan memantapkan pencapaian visi misi Baubau yang Maju, Sejahtera, dan Berbudaya yang akan memasuki tahun terakhir dengan menjangkau Pemerintah Kota (Pemkot) Baubau, SD dan SMP, perguruan tinggi, swasta, dunia usaha dan masyarakat umum di Kota Baubau.
“Pada dasarnya Raperda ini materi yang diatur itu diarahkan pada pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa, sastra, dan aksara Wolio serta peningkatan fungsi sebagai salah satu kekayaan budaya Kota Baubau dan Nasional,” imbuhnya.
Penulis : Ardilan